Home » , , » Merekonstruksi konsep pendidikan Indonesia

Merekonstruksi konsep pendidikan Indonesia

Written By @Rahmandani86 on Rabu, 30 November 2011 | 20.58


(Siswi menjadi korban sistem pendidikan)
Konsep pendidikan yang selalu berganti haluan diatas politik penguasa. Melahirkan ambiguitas alur tujuan pendidikan nasional.
            Lahirnya pendidikan di Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari hal politis. Lihat saja, bagaimana penguasa orde lama menjadikan pendidikan yang lebih berhaluan sosialis. Yaitu dimana masyarakat berhak mendapatkan pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi tanpa melihat status kelas sosial. Walau mentah dalam implementasinya.
            Lain halnya, dengan situasi pendidikan kala orde baru. Pendidikan diarahkan kepada penyeragaman peserta didik dan dokrinisasi penguasa untuk melanggengkan hegemoni kekuasaannya. Tak ayal, pendidikan saat itu hanya menjadi bagian dari alat status quo. Akibatnya, peserta didik hanya menjadi obyek dari sistem yang diberlakukan oleh penguasa. Metode pendidikan seperti ini biasa disebut oleh Paulo Freire, pendidikan gaya bank.
            Dengan begitu, pendidikan tidak lagi menjadi proses membentuk manusia menjadi manusia. Lebih jauhnya, pendidikan bukan lagi sebagai lingkungan yang mencoba membangun kesadaran kritis secara konstruktif agar peserta didik dan pendidik dapat bebas dari ketertindasan dari ideologi dominan. Sedangkan jika meminjam konsep pendidikan Suwardi Suryaningrat, pendidikan semacam itu mencoba menjauhkan masyarakat dari konteks realitas  dan identitas lokal budaya bangsa.
            Seiring berjalannya penyelewengan dalam pendidikan Indonesia semasa orde baru. Bangsa ini sedikit mendapatkan angin segar saat lahirnya peristiwa reformasi 98. Namun, yang diharapkan dari reformasi akan sebuah perubahan konsep pendidikan terbilang kandas. Bagaimana tidak pasca reformasi, justru pendidikan menjadi sebuah lahan proyek komersil  bagi segelintir orang.
            Dengan begitu, pendidikan Indonesia memang dalam situasi yang menakutkan. Satu sisi konsep pendidikan mulai keluar dari tujuan pendidikan nasional. Yaitu mencerdaskan bangsa. Sisi lainnya, masalah internal pendidikan yang tak pernah tuntas. Seperti halnya undang-undang guru dan dosen (UUGD) sebagai solusi profesi guru agar mendapat status sosial dan pengakuan ekonomi yang sewajarnya. Justru menambah masalah berikutnya dari solusi yang diajukan pemerintah.
            Sebab, dengan diberlakukannya UUGD. Hampir tiga ribu guru berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikat melalui sertifikasi guru. Sebagai formalitas eksistensi profesi guru agar layak masuk dalam daftar guru profesional. Akibatnya, profesionalitas guru berubah menjadi suatu komoditas mewah. Yang dibayangi dengan melonjaknya biaya pendidikan.
            Selain dari kebijakan diatas. Sebenarnya, banyak hal lain yang menambah “ruwet” pendidikan nasional dan hitamnya sekolah saat ini. Yaitu otonomi setiap lembaga pendidikan, pengesahan UU BHP, serta rencana “sekolah gratis” oleh menteri pendidikan nasional.
            Sebenarnya, tedapat beberapa hal yang berkaitan erat antara kebijakan otonomi lembaga pendidikan, UU BHP. Pertama, kebijakan otonomi sekolah berimplikasi terhadap substansi kurikulum yang tidak merata antara lembaga pendidikan. Tak dapat dipungkiri, perbedaan fasilitas antara sekolah di desa dan kota begitu mencolok. Hampir sekolah di kota besar sudah pasti membuat kurikulum yang mempunyai nilai standar kompetensinya lebih tinggi dari sebagian besar sekolah yang berada di desa.
            Kenyataan seperti ini, mengakibatkan sebagian besar siswa yang tidak lulus ujian nasional adalah siswa yang berada di pedesaan. Parahnya lagi, dari diberlakukannya kebijakan ini semakin terciptanya pembangunanisme dalam ruang pendidikan. Artinya, saat pembangunan gedung sekolah dilakukan sudah pasti uang pembangunan diberatkan oleh siswa. Artinya, pendidikan Indonesia hari ini tidak lagi memperhatikan esensi pendidikan yang seharusnya. Tetapi hanya sebatas metodologi konstruktif, tujuannya.
            Kedua, hubungan kebijakan otonomi lembaga pendidikan dengan RUU Perguruan Tinggi (PT) yaitu saat kebijakan otonomi sekolah hanya terkosentrasi sebatas pembangunan. Maka disinilah posisi RUU PT dapat menguntungkan industry lembaga pendidikan (konteks saat ini). Sehingga pembangunan sekolah yang “gila-gilaan” dan dipatok dengan biaya tinggi mendapat legalitas dari pemerintah. Yang pada akhirnya, lembaga pendidikan menjadi sebuah lahan pasar yang mewah.
Bagaimana tidak, dengan bentuk pembangunan sekolah yang terbilang mewah dan posisi guru atau dosen yang telah mempunyai jabatan lebih tinggi. Tak ayal, harga bangku sekolah dan guru akan semakin mahal. Serta terlepasnya tujuan awal pendidikan Indonesia yang termaktub dalam UUD 45, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
            Anehnya, dengan kenyataan pendidikan seperti saat ini. Kemendikbud tetap berani mendengungkan “sekolah gratis” dan pemerataan guru disetiap pelosok negeri. Bagi penulis, sekolah gratis memang harus tetap diwujudkan. Namun, bagaimana dapat terwujud jika kebijakaan yang telah disahkan masih tersimpan virus mematikan bagi pendidikan Indonesia, yaitu liberalisasi dan komersialisasi dalam pendidikan. Terlebih, selama pendidikan dijadikan komoditas politik bagi segelintir manusia. Maka sekolah bermutu dan gratis hanya menjadi suatu hal yang utopis bagi masyarakat.
            Melihat realitas diatas, sudah sepatutnya bangsa ini melakukan rekonstruksi terhadap konsep pendidikan yang telah lama ditinggalkan. Namun, tetap menjadi simbol di sekolah. Melalui konsep pendidikan Suwardi Suryaningrat yang sering didengungkan “Ing ngarso sun tulodo, ing madya mbangun karso, tut wuri handayani. Yang artinya, seorang pendidik harus menjadi tauladan yang baik di depan peserta didik, seorang pendidik harus dapat memberikan arahan dan membangun gagasan kritis diantara peserta didik, serta dapat memberikan dorongan atau motivasi kepada peserta didik dari belakang. Serta menjadikan sekolah sebagai ruang yang menghubungkan seluruh rakyat dengan tugas menyusun seluruh realitas yang mendorong kesadaran kritis dan memperdayakan pelajar untuk merubah relasi mereka dengan alam dan berbagai kekuatan sosial (Paolo Freire, 1979: ix).
Dengan mengembalikan kembali konsep pendidikan dan sekolah yang ditawarkan oleh Suwardi Suryaningrat dan Paulo Freire. Serta dijunjung tinggi atas eksistensi kedaulatan rakyat. Seperti yang tertera dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang artinya, kedaulatan rakyat tercapai saat implementasi UUD ‘45 terealisasi. Semoga pendidikan Indonesia mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan, seiring derasnya arus globalisasi.

0 comments:

Posting Komentar

SELAMAT DATANG DI ARENA DIALEKTIKA PENDIDIKAN