Surya
Kencana namaku. Seorang bocah yang masih berusia sepuluh tahun. Hidungku cukup
mancung, dan rambutku ikal. Satu lagi, aku juga memiliki warna kulit seperti
sawo matang. Konon, warna ini menyiratkan saru ras yang cukup berhasil
menghegemoni masyarakat dunia atas ekonominya, Tionghoa.
Cukup,
tak usah aku mempublikasi lebih jauh siapa aku sebenarnya. Karena aku sudah tak
ingat sejak kapan aku mulai bimbang tatkala berbicara tentang jati diri. Jelas,
ini satu kesalahan besar dalam sejarah hidup manusia. Padahal, hidup itu sarat
dengan pilihan. Pengetahuan itu pula yang berhasil merasuki pikiran untuk melupakan kesunyianku yang hidup di jalanan.
Aku
pernah berkata dalam hati, jika kesunyian bukan akhir dari hidup dan kehidupan.
Karena nan jauh di mata, aku yakin kebahagiaan masih menunggu diambang pintu
takdir. Meski kebahagiaan itu utopis sifatnya.
Terlebih,
hampir setengah dari usiaku hanya habis percuma dihantui kebencian
terhadap puluhan orang bertubuh kekar,
dan berambut cepak layaknya tentara. Karena mereka telah mengambil ayah dan ibu
secara paksa dari rumah.
Tak ada yang bisa aku lakukan saat mereka mulai
meracik ayah dengan pelbagai pukulan dan tendangan. Sedangkan ibu hanya bisa
memohon kepada mereka agar membiarkan aku dan Ranu Kumbolo, adikku yang kecil
dibiarkan tetap bertahan di rumah dengan nyeri wajah yang begitu ketakutan.
Seketika,
Ranu meraung-raung sejadinya ketika meliihat ayah dan ibu mulai diseret keluar
rumah, dan langsung dimasukan kedalam mobil kijang berwarna hitam kelam.
Sedangkan, aku hanya bisa memeluk Ranu erat sambil duduk berselonjor diatas
lantai yang kotor bekas sisa-sisa darah ayahku sambil terus mengurai air mata.
Seketika
kijang itu ditelan kegelapan. Beberapa tetangga mulai membanjiri rumahku
secepat kilat. Maklum, rumahku memang berada di pedesaan. Tepatnya di daerah
Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Jadi, mau tak mau sebenarnya mereka mengetahui
ketika penculikan kedua orang tuaku terjadi. Mungkin, mereka juga ketakutan
saat melihat beberapa penjaga yang berdiri didepan rumahku sambil mengacungkan
laras panjang.
Oro-oro
Ombo, salah seorang pemuda desaku yang juga hadir di rumah segera memeluk Ranu
yang masih diderap ketakutan atas tragedi ini. Tak hanya para pemuda desa yang
merasakan keprihatinannya kepadaku. Tapi Mbok Ratmi, salah seorang wanita tua
yang berjualan nasi uduk di desa seberang jalan juga terlihat hadir dengan
untaian maaf sebesar-besarnya. Pasalnya, ia tak bisa melakukan apa-apa saat
mengetahui peristiwa ini berlangsung.
Sementara
itu, aku mulai bosan dengan kecengengan ini. Atau, air mata ini memang sudah
tak kuat untuk terus mengalir membasahi kedua pipiku yang sering kali dicubit
oleh ayah. Entahlah, yang pasti ketakutan telah mencabik-cabik wajah mungilku
dan perlahan mulai melangkah kedalam kesunyian.
Ya,
sejak malam itu, sepertinya kesengsaraan mulai terbayang dalam pikiranku. Aku
berusaha tenang, tapi tak bisa. Kaki kananku terus saja bergoyang, reflek. Aku
jadi ingat perkataan ibu, jika kaki kita bergoyang berarti bakalan ada tanggung
jawab besar yang akan menghadang. “Tapi jangan pernah takut.”
Kini,
aku coba untuk memejamkan kedua kelopak mata sekedar pasrah atas takdir Tuhan.
Aku sendiri tak percaya, bocah seusiaku sudah bisa berpikir tentang kehidupan
yang penuh riak ditengah lautan.
Tiba-tiba
saja, ditengah kelamnya malam. Sekelompok jangkrik masih terus berbisik dengan
kemerdekaannya. Sepertinya kawanan jangkrik tak ada rasa ketakutan dalam
benaknya karena telah mengganggu manusia yang masih asik dalam kematian
sementara. Namun perlahan tapi pasti, aku mulai menemukan dua suara manusia
yang masih asik berbincang didepan kamar.
“Siapa
malam-malam begini masih berbincang?” kataku dalam hati.
Perlahan,
aku mulai coba mengumpulkan keberanian. Kini, kedua kakiku mulai beranjak dari
tempat tidur dan mulai berjalan secara bergindik agar pemilik perbincangan
tidak mengetahui kehadiranku. Dari lubang kecil yang berada dibalik daun pintu,
aku mulai melihat dua wajah yang tak asing lagi, mas Ombo dan mbok Ratmi.
Wajah
mereka begitu serius membicarakan peristiwa yang baru saja menimpa kedua orang
tuaku. Aku sedikit mendengar apa yang dikatakan oleh mas Ombo, bahwa peristiwa
yang menimpa mas Arjuna dan mba Laras Dewi, nama kedua orang tuaku terkait erat
dengan rencana pembangunan pabrik Semen yang dilakukan PT. Indo Semen di daerah
sukolilo-Pati.
Dari
penjelasan Mas Ombo, bahwa kekuasaan tengah berselingkuh antara Pemerintah
Daerah dengan pemodal yang disokong oleh Pemerintah Provinsi untuk membangun
pabrik semen di tanah ulayat milik masyarakat. Namun, tak disangka-sangka,
rencana tersebut justru mendapat penolakan dari masyarakat yang tergabung dalam
organisasi Barisan Tani Sukolilo (BTS) secara serempak.
Hmm,
sayangnya, aku tak begitu paham apa yang tengah dibicarakan mas Ombo dan mbok
Ratmi. Yang pasti, aku mendengar jika ayah merupakan salah satu pemimpin dari BTS.
Sedangkan ibu merupakan kordinator dari kaum petani perempuan Sukolilo. Aku
terperanjat, dan bulu kuduk mulai terbangun, ketakutan.
Setelah
cukup lama aku mengintip dan menguping dibalik daun pintu kamar. Aku mulai coba
memberanikan diri untuk membuka pintu kamar. Sontak, mbok Ratmi langsung
menghampiriku yang tengah berdiri dan menatap kedua matanya.
“Loh,
Surya kok wis bangun? Kan masih malam,” kata mbok Ratmi sambil memeluk aku dan
kembali membawa ke tempat tidur.
“Aku
ngga bisa tidur lagi mbok.”
“Kenapa
toh?”
“Aku
kangen sama ayah dan ibu.”
Tiba-tiba,
tetes demi tetes gelinangan air mata kembali mengalir dari dua kelopak mata mbok
Ratmi. Aku tersentak diam serasa bertahan dari deruan nafas yang kian
tersengal. Mataku juga mulai memerah, dadaku terasa panas.
“Tapi
aku tak mau menangis.”
Diatas
kasur, aku mulai bertanya kepada mbok Ratmi, alasan apa yang menyebabkan
puluhan manusia berpenampilan cepak begitu semangat memisahkan keluargaku
dengan anak-anaknya. Bukankah ini salah satu bentuk simbol kekejaman?
Mbok
Ratmi menatapku dengan tatapan berkaca. Sepertinya, ia coba untuk memberitahu
bahwa di tanah ini masih ada kekejian yang membuat air semakin keruh. Ya,
apalagi namanya kalau bukan kekejian, tatkala mereka melakukan pemanggilan
kepada ayahku tanpa menunjukan surat secara resmi. Ditambah, wujud penganiayaan
secara fisik dan psikis juga berjalan secara gamblang.
Pernyataan
itu pula yang akhirnya keluar dari mulut mbok Ratmi. Sebusuk-busuk hati orang
Barbar yang menelikung ajaran Isa dan menghancurkan Acropolis, mereka tidak
merusak sebongkah batu dari teater di
Epidaurus. Seburuk-buruk Nazi, mereka tidak mengusik sebutir pasir pun di
Paris. Meski Nazi telah membuat Perancis mencium ujung kakinya.
Namun,
lanjut mbok Ratmi, mereka telah merampas semua hak dan harapanku, masyarakat
dan generasi selanjutnya. “Mereka keji yang diselimuti kekuasaan.”
Aku
hanya bisa terpaku melihat wajah mbok Ratmi yang terus menyimpan dendam
terhadap penculik orang tuaku. Begitu beratkah dosa yang dilakukan oleh ayah
dan ibuku saat hidup di dunia? Sehingga mereka harus diperlakukan seperti
binatang.
Tak
terasa, kumandang adzan subuh mulai terdengar. Suara gesekan daun diiringi
embun pagi mulai melantunkan irama. Ya, seakan alam coba menyambut mentari dan coba
untuk menyembunyikan kepedihanku.
Sepagi
itu, kondisi desa Sukolilo tak sebaik mentari pagi yang muncul untuk memberikan
harapan atas kehidupan. Karena lima pemuda datang ke rumah dengan
tergopoh-gopoh. Wajahnya menyiratkan kegelisahan dan ketakutan. Mereka membawa
kabar, jika puluhan mobil tentara sedang dalam perjalanan menuju desa Sukolilo
untuk mengamankan tanah ulayat. Karena hari ini, beberapa pejabat pemerintah
akan segera melakukan peletakan batu pertama.
Sekonyong-konyong,
mas Ombo panik. Ia segera memberikan instruksi kepada dua pemuda lainnya untuk
segera mengumpulkan BTS di rumahku. Lalu, ia coba mendekapku erat, seraya ingin
mengatakan, bahwa aku dan Ranu harus segera meninggalkan rumah.
Tak
banyak yang bisa aku lakukan ketika mbok Ratmi mulai memasukan beberapa pakaian
dan bekal untuk aku dan Ranu. Kini, mas Ombo mulai memegang tangan kananku dan
tangan kiri Ranu.
Hiruk
pikuk kepanikan kian membahana disetiap sudut rumah warga. Para wanita
berlarian mencari anak-anak mereka. Sedangkan para kaum adam berjalan cepat
menuju rumahku sambil memakai caping-topi petani- diatas kepalanya.
Sementara
itu, aku bersama Ranu dan mas ombo tetap berjalan menuju rumah Kepala Desa.
Disana, Pane Sampyang, nama Kepala Desa Sukolilo langsung menyambut kami. Aku
melihat mas Ombo bercengkrama serius dengan pak Ranu sambil terus menatapku dengan
sinar kepedulian dan kepanikan. Sedangkan pak Pane hanya mengangguk-anggukan
kepala. Ya, sepertinya tokoh kepala desa ini sudah paham atas masalah yang
menimpa warganya.
Tak
lebih dari lima menit, perbincangan mereka berdua berakhir. Dan mas Ombo langsung
meninggalkan aku dan Ranu dengan tatapan tanggung jawab yang harus diselesaikan
di desa ini.
Ya,
itu sepenggal kisah yang tak pernah terungkap atau tercatat sejarah di tanah
air ini. itu juga merupakan
salah satu kenyataan, jikalau ayah dan ibuku dipastikan
tidak akan kembali. Entah dibunuh, atau dimasukan penjara seumur hidup tanpa
ada proses hukum yang berlaku. Dan kini, aku sadar kalau orang tuaku telah
hilang ditelan bumi. Dan, peristiwa ini menjadi awal aku ditetapkan oleh Tuhan
sebagai bocah tanpa orang tua, yatim.
Sayangnya,
aku tak sanggup menjadi saksi atas peristiwa yang menimpa keluarga dan desaku. Aku
seperti menjadi pengecut dari fase sejarah yang pernah aku rasakan. Menutup
mata, telinga, dan mulut kepada siapa pun yang menanyakan jati diri menjadi hal
yang tak terelakan.
Kini,
aku harus bertahan di persimpangan Ibukota yang terkenal hukum rimba. Siapa
yang ber-uang, maka dia akan memenangkan kehidupan. Terlihat konyol asumsi ini,
tapi ini sebuah kenyataan bagi anak yatim yang hidup tanpa perlindungan ekonomi
dan sosial.
Kalaulah
kuhitung, kubilang-bilang, tak terkira berapa banyak manusia saban hari
mencibirku di perempatan jalan raya, dekat lampu merah Matraman, Jakarta Timur.
Mereka bilang kalau aku ini menjadi biang keladi sampah sosial Ibukota. Apalagi
para pemilik mobil mewah yang mudah terpengaruh dengan Peraturan Pemerintah DKI
Jakarta nomor 8 tahun 2007 tentang ketertiban umum. Sehingga mereka terus
mempermasalahkan keberadaan orang-orang sepertiku.
Padahal,
kalau aku pikir, kondisi saat ini tak pernah kuinginkan. Ya, andai saja orang
tuaku tidak diculik dan dihabisi nyawanya, mungkin kehidupanku lebih baik. Jadi
siapa yang harus bertanggung jawab atas hidup dan kehidupanku hari ini?
Jujur,
aku tak mau mengatakan jika Negara harus bertanggung jawab penuh atas
kehidupanku. Karena aku tahu, nasib orang tuaku tertelan bumi atas penuntutan
hak masyarakat tani terhadap Negara. Aku tak mau dianggap orang sebagai ahli
makar. Jadi, aku tetap beruntung selama masyarakat Ibukota terus menganggapku
sebagai manusia pesakitan sosial.
Dalam
lalu lalang masyarakat Ibukota, aku coba tersenyum menghadapi hidup. Panasnya
matahari, guyuran air langit dan jeritan penyandang cacat serasa menjadi teman
baikku. Aku yakin, kondisi ini bukan jebakan kehidupan yang diberikan Tuhan.
Makanya, aku mengambil jalan lain untuk menghidupi Ranu yang sebentar lagi akan
masuk Sekolah Dasar. Yaitu menitipkannya di yayasan anak yatim di wilayah Gang
Bedeng, Manggarai, Jakarta Selatan.
Alasanku
satu-satunya menitipkan Ranu karena aku tak lagi percaya pada jalanan untuk
mendidiknya. Biarkan, aku yang merasakan pendidikan di jalanan. Entah, benar
atau salah keputusan ini, aku serahkan sepenuhnya kepada nasib yang menggiring
Ranu dalam sejarah hidupnya.
Terkadang
aku termenung didepan pelataran toko di bilangan Pramuka. Pengalaman hidup yang
kurang banyak membuat aku tak paham arti kehidupan. Nasib telah membuangku jauh
ke lubang takdir. Kini, aku hanya bisa berharap menemukan super hero untuk menolong
kehidupanku.
Ah,
rupanya aku masih sangat mesias-isme dalam pikiran. Bukankah aku sudah tahu,
kalau untuk menyelamatkan kehidupan tak bisa terus bersandar pada koboi. Karena
hanya keyakinan diri yang sebenarnya dapat mengantarkan manusia ke maqom
yang lebih tinggi. Ya, bukan kamu, kalian, dan kita tapi aku sendiri yang akan
bertarung.
Jakarta
memang tak senyaman desaku. Masyarakatnya juga terbilang variatif. Tapi jangan
lupa, di kota ini penuh intrik dagelan yang akut. Lihat saja, bagaimana kaum mayoritas
terus melakukan ritual agamanya tanpa memikirkan hak kaum minoritas. Uniknya
lagi, perilaku warganya juga cukup barbar. Ups maaf, mungkin ini agak
subyektif. Namun, ini yang aku rasakan setelah dua tahun bercengkrama dengan Jakarta.
Belum
lagi, peng-aku-an masyarakat religi yang mengagungkan nama Tuhan juga tak jeli
melihat kenyataan untuk orang-orang sepertiku. Lihat saja, di kota ini justru
anak-anak yatim malah dibiarkan menjadi gelandangan. Sepertinya mereka lebih
mencintai hartanya dari pada harus memberikan seperempat kekayaannya.
Bukankah
mereka sudah mengetahui jika perbuatan kikir merupakan satu perilaku yang tidak
dicintai Tuhan? Bukankah Muhammad, seorang utusan Tuhan yang menyebarkan Islam
juga telah memerintahkan untuk menyayangi anak-anak yatim dan fakir miskin?
Lalu, bagaimana bisa anak yatim sepertiku terus menerus menjadi cibiran
masyarakat dan penghardikan bagi orang yang empunya modal?
Karena
pernah suatu ketika, ada seorang yang mengetahui jika aku merupakan anak yang
tidak memiliki orang tua. Kalian tahu apa yang mereka katakan kepadaku? Mereka
justru menganggapku sebagai anak yang lahir diluar nikah. Hebat bukan budaya
masyarakat kota ini? Jauh dari ketentraman Kerta Rahardja didesaku.
Jikalau
ada masyarakat yang “sok” peduli dengan keberadaan anak-anak yatim. Biasanya,
mereka hanya melakukan pendataan yang sifatnya sosial. Toh, ujung-ujungnya
hanya meng-eksploitasi kesengsaraan anak-anak yatim melalui proposal kepada
Departemen Sosial atau Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) untuk meminta sumbangan.
Jujur, aku katakan, bahwa aku pribadi tidak membutuhkan materi tersebut.
“Aku
hanya membutuhkan kehidupan seperti manusia biasanya, tanpa harus ada
kesenjangan sosial yang akut di kota ini.”
Tak
terasa senja mulai memperlihatkan kantuknya. Perlahan, kelam coba menyelimuti
langit. Hembusan angin magrib bergema di pinggir daun telinga manusia.
Sedangkan sang raja siang tersenyum senang karena tak mendengar ratapan
kesunyianku lagi hari ini.
Tapi
tiba-tiba, ketika tubuh ini coba untuk bangkit dari singgasana. Puluhan batu
kerikil yang telah setia menemaniku malah coba memanggil kembali dengan penuh
harapan. Aku tersentak, dan melihat kearahnya.
Wow
ternyata, puluhan batu kerikil itu memberiku isyarat agar terus berusaha melihat
keatas langit. Betapa terkejutnya, jikalau sang bulan justru tersenyum kepada
dan menyapaku dengan lembut. Lalu, bersama pantulan cahaya matahari, sang bulan
mulai mempersilahkanku untuk meneruskan ratapan yang sarat dengan kesunyian.
“Terima
kasih sang bulan untuk kesetiaanmu pada manusia sepertiku,” ucap Surya Kencana senang
dan kembali singgah di pinggir kali Pasar Genjing untuk menikmati malam.
Tulisannya mengingatkan pada MK telaah Sastra waktu di kampus....
BalasHapus