Judul Buku : Pengantar Studi Semantik Dan Pragmatik
Karya : Prof. Dr. H. D. Edi Subroto
Penerbit : Cakrawala Media
Bahasa bukan basis dari kediktatoran budaya. Tapi ia tercipta dari pelbagai benturan dialektika manusia.
Perkembangan bahasa begitu kompleks. Tak ada yang mampu mencegah. Karena ia merupakan satu kesatuan dalam kehidupan manusia. Salah satunya dalam komunikasi. Sehingga keberadaannya menjadi sumber pengetahuan dalam ilmu bahasa atau linguistik. Dari sana pula para pembelajar bahasa (linguis) menemukan studi semantic dan pragmatik.
Pada dasarnya, arti bahasa merupakan bentuk pengetahuan yang tersimpan didalam dan sangat tersistematis atau terstruktur dalam bahasa itu sendiri. Menariknya, hampir semua penguasa bahasa memiliki kesamaan dalam satu objek. Hal ini terjadi karena menjadi bahasa manusia. Meski dalam berbagai kajian, biasanya para penguasa memiliki banyak perbedaan. Yaitu tergantung perspektif yang digunakannya.
Selain itu, arti bahasa juga tak dapat dijadikan satu makna yang stagnan. Karena bahasa tetap tergantung pada konteks. Pada kesempatan ini, konteks juga terdiri atas beberapa ilmu linguistik. Dua diantaranya adalah studi semantik dan pragmatik.
Dalam perkembangannya, studi semantik terfokus pada mengkaji arti bahasa secara ilmiah. Menurut Hurford dan Hearsly (1984), bahwa semantik akan terus menerus mengkaji arti didalam bahasa. Dan itu merupakan obyek dari kajian semantik. Kajian ini juga tidak akan dapat dilepaskan dari sistem tanda bahasa. Pasalnya, tanda bahasa merupakan aspek dalam berbahasa. Tanpa itu semua, maka bahasa tidak akan memiliki arti yang dapat digunakan sebagai komunikasi sesama manusia.
Arti bahasa juga merupakan bangunan yang terkonstruk dengan rapih dalam bahasa. Baik secara morfologis dan sintaksis. Ini pula yang disebut sebagai aspek kemampuan bahasa. Sehingga dapat dipahami oleh pengguna bahasa secara berhasil dalam komunikasinya. Meski demikian, arti bahasa pasti terkait dengan sistem tanda yang bersifat lingual.
Misalnya, kata “kursi”. Sekilas para pengguna bahasa memili perspektif yang sama. Yaitu salah satu perabot rumah tangga dan memiliki kaki. Namun. Dalam arti bahasa, kata “kursi” sangat beragam. Baik dari sisi bahan untuk membuat kursi atau dari sisi jumlah kakinya yang bewrmacam-macam. Ini biasa disebut dengan tanda bahasa secara umum yang bersifat lingual dan Non-lingual.
Atas dasar itu pula Ferdinand De Saussure, bahwa studi semantik tidak dapat dilepaskan dari semiotik. Karena semantik bagian dari semiotik. Tak heran, jika Ferdinand menyatakan bahwa penciptaan dan pengidentifikasian tanda beserta liku-likunya ada yang bersifat lingual dan No-lingual.
Dari sana pula, dalam semantik melahirkan aspek bentuk yang juga sangat tersistematis. Deretan huruf pun lahir menciptakan kalimat dan berhasil membentuk bahasa lisan dan tulisan serta arti. Sedangkan aspek arti disini menjadi solusi dari keberadaan bentuk bahasa tersebut. Karena aspek arti menjadi bentuk pengetahuan kongkrit yang dilakukan manusia untuk mengetahui satuan kata atau satuan frase tertentu yang dilisankan atau dituliskan.
Maka dalam buku ini, logika semantic coba digambarkan dengan menggunakan segituka. Sebab, antara satu sisi dengan sisi yang lain memiliki relasi yang erat untuk saling melengkapi. Misalnya relasi sisi A ke B memiliki sifat asosiatif. Sisi B dan C memiliki sifat refrensial dan sisi A dan C akan coba membentuk arti.
Sementara itu, studi pragmatik, tidak terlalu membahas banyak tentang maksud arti bahasa dari sudut kebahasaannya. Meski akan ada implikasinya dari si penutur. Karena studi pragmatik akan coba memfokuskan kajiannya terhadap tuturan dan penutur yang mempengaruhi perkembangan arti bahasa.
Arti bahasa dari kajian pragmati merupakan dilihat dari sisi si penutur. Dan arti itu pula berakhir dengan konteks situasi yang tengah terjadi oleh penutur. Hakikatnya, istilah pragmatik mengacu pada istilah semiotik dari Charles Morris (1938). Yatu ia coba membedakan tiga cabang semiotik. Pertama, sintaksi (kajian formal antara satu tanda ke tanda yang lain). Kedua, semantik (relasi tanda bahasa dengan sesuatu yang dituju oleh tanda tersebut). Dan ketiga, pragmatik (relasi tanda bahasa dengan penggunanya).
Menariknya, kajian pragmatik dari pernyataan yang akan ekstrem merupakan stufdi arti arti minus kondisi benar. Hal ini tersebut telah diyakini oleh gadzar (1973 :2). Karena pragmatik langsung menunjukan benar berdasarkan arti kata-kata yang digunakan bersama aspek struktur dari tuturan tersebut.
Pendekatan arti bahasa
Namanya juga bahasa. Sudah pasti susah diraba atau bersifat ilusif. Karena, manusia hanya bisa merasakan arti bahasa itu memang benar-benar ada tapi agak sulit ditangkap atau diungkapkan. Tak heran, banyak linguis yang coba membawa pembelajar bahasa agar dapat ditangkap dan diungkapkan sehingga komunikasi berjalan lancar.Pendekatan yang paling sering disebutkan dari Frawley (1992). Ia coba menggunakan lima pendekatan agar manusia berhasil megungkapkan arti bahasa.
1. Arti sebagai penunjukan atau pengacuan. Maksudnya, pandangan bahwa kata-kata juga hadir karena untuk membahasakan benda atau satuan benda, pikiran, gagasan, peristiwa, kejadian hingga keadaan. Sehingga kaitan bahasa dapat dipahami melalui sesuatu apa pun yang bersifat diluar bahasa yang diacu oleh masyarakat bahasa.
Misalnya, kata “kursi” . kata ini digunakan untuk membahasakan sebuah perabotan rumah tangga yang biasa disebut kursi. Hal ini terlepas dari beragamnya bentuk, jumlah kaki, bahan dan materi dari kursi itu sendiri
2. Arti sebagai bentuk logika. Pendekatan ini sangat merepresentatifkan semantik dari perlengkapan arti secara ketata bahasaan. Makanya jangan heran, jika semantik disebut juga sebagai cabang logika dari bahasa. Dalam hal ini, bentuk logika berkaitan dengan hal yang benar. Proses penarikanm kesimpulan secara bernalar. Dan isi dari tuturan memiliki cara secara mekanisme untuk penyajian isinya.
Pendekatan ini juga disinyalir memiliki relasi kuat antara logika dan arti. Pasalnya, logika berkaitan dengan kondisi pernyataan hal yang benar disimpulkan dari pernyataan lainnya. Missal;nya, “ Amir memukul Ali”. Analisa ini dimulai bahwa disekitar kita ada orang yang bernama Amir dan Ali. Interaksi keduanya menjadi pengungkapan intraksi dalam bahasa. Yaitu Amir melakukan pemukulan terhadap Ali.
Konteks kalimat itu ditentukan oleh interaksi bahasa bahawa Amir sudah melakukan pemukulan terhadap Ali. Oleh karena itu, predikat tuturan itu (memukul) dinyatakan dalam bentuk aktif. Sehingga kalimat itu dipandang dari sudut si pelaku.
3. Arti sebagai konteks dan penggunaan. Pendekatan ini bepacu pada pandangan arti sangat tergantung pada konteks dan penggunaan bahasa. Tanpa keikutsertaan konteks, arti sebuah turan tidak akan mudah dipahami dan terungkap.
Misalnya, di rumah pejabat terdapat tulisan “dilarang kecing disini kecuali orang gila”. Hakikatnya, tulisan ini bertujuan memberikan pesan bahawa dilarang mengencing disekitar rumahnya. Hal ini dikarenakan sudah banyak yang kencing disekitar rumahnya. Makanya, pemilik rumah hanya coba mengutuk bahwa ynag mengenicng disekitar rumahnya. Memang benar orang gila.
4. Arti sebagai kebudayaan. Pendekatan budaya atau kebudayaan terhadap arti bahasa juga menjadi satu pendekatan yang penting. Karena budaya merupakan hasil penentu terakhir terhadap arti bahasa. Tak hanya itu, budaya juga memiliki makna dalam akaitan ini adalah system kepercayaan atau praktek kehidupan masyarakat yang tak pernah terbangun tapi sangat struktur ketika masuk dalam wilayah arti bahasa.
Misalnya, masyarakat Jawa yang memproduksi bahasa Jawa. Dalam tataran struktur arti bahasa kebanyak dibedakan secara rinci seperti padi. Sebelum atau sesudah banyak memiliki arti bahasa yang terus menuingkat. Ketika masih ditanam masyarakat Jawa menyebutnya sebagai tandur. Ketika sudah dipisahkan dari batang, disebutnya gabah. Dan ketika sudah dilepaskan dari kulitnya disebut beras. Kemudian setelah ditanak disebut sebagai nasi.
5. Arti sebagai struktur konseptual.sebenarnya pendekatan ini sangat erat berkaitan dnegan konsep pendekatan yang pertama, arti asebagai pengacuan atau penunjukan. Pendekatan ini dipelopori oleh Jackendoff (1988) yang menegaskan bahwa semantik sama dengan struktur konseptual. Terbukti, penjalesan segitiuga semantic yang memjiliki banyak relasi terbangun atas sitem arti bahasa yang kongkrit.
Geliat arti bahasa dalam semantik dan pragmatik
Geliat semantik selalu dibedakan antara arti, makna, disegnasi atau denotasi, refrensi, proposisi, dan maksud. Maksudnya, meski bahasa sussah diraba tapi tetap akan memiliki arti. Dalam arti satuan ditentukan oleh arti leksikal kata yang dipakai. Ditambah, dengan menggunakan arti struktural dan gramatikal.
Arti gramatikal merupakan hubungan “keterangan” dan sangat “menerangkan”. Belum lagi, dalam wujud intonasi kalimat dan hubungan granatikal antara subyek dan predikat serta hubunan antara predikat. Karena dalam wacana biasanya ditentukan oleh hubungan proposisi antar kalimat pendukung paragaraf.
Sedangkan makna atau sense juga berkaitan dengan arti. Namun, sifatanya beda. Karena berdasarkan perspektif Kreidler, bahwa arti sebuah makna sebuah kata tergantung pada relasinya dengan kata-kata lain didalam tuturan itu. Jadi makana yang dimiliki sebuah kata karena hubungannya dengan makana lesem lain dalam sebuah tuturan.
Terbukti, jika dalam tuturan tersebut terdapat rlasi paradigmatic. Yaitu relasi yang bersifat penggantian atau subsitusi. Misalnya, satuan besar. Makana kata ‘besar’ dalam “rumah besar” sama dengan makna “besar” dalam perut “besar”. Dan hal tersebut berkaitan dengan satuan lingual.
Satuan lingual juga betrdasarkan hubungannya dengan makna kata lain disekitarnya dalam sebuah tuturan atau berdasarkan hubungannya dengan makna lain yang diandaikan atau digantikan dengan kata lain dalam konteks tuturan tersebut.
Geliat dua studi ini juga terkait dengan denotasi. Ternyata dalam teori mentalistik Ogden dan Richards ditemui, bahwa dalam relasinya anatarkata dengan bata yang membetuk kalimat adanya hubungan antara bentuk kata dengan konsep (denotasi). Yaitu pengetahuan kita tentang suatu kata itu saecara berhasil dalam sebagian besar situasi. Jadi, buka sebatas pengetahuan tertentu saja mengenai kata.
Tak hanya itu, Kreidler ( 1998 : 43) menyebutkan, jika refrensi juga termasuk cara dimana penutur dan mitra tutur menggunakan ujaran secara berhasil dalam komunikasi. Sehingga kita paham bahwa memang benar adanya pemisahana antara refrensi dengan denotasi. Pasalnya, terdapat tuturan dan ujaran. Seperti diketahui, jika tuturan berarti masuk dalam kajian pragmatik. Dan pembahasan kalimat masuk dalam wilayah sintaksis.
Sementara itu proposisi bertujuan untuk menyusun pikiran yang terdiri dari pokok dan sebutan konteks. Sebuah proposisi yang sama dapat dihasilkan dalam kalimat yang berbeda-beda. Makanya, dalam trangkaian paragraph pasti terdapat proposisi, dan itu bisa dikatakan bahwa proposisi juga termasuk bagian dari sebuah kalimat atau bagian kalimat.
Tak mau ketinggalan, geliat kajian dalam buku ini juga membahas terkait erat dengan puisi. Sebut saja pesan. Karena istilah tersebut sering digunakan oleh para seniman sastra yang tidak terlalu teoritis tapi justru memiliki perspektif ideologis. Sebutan itu muncul juga para penikmat puisi terlalu sulit untuk mengungkap apa pesan yang berada didalam teks sastra tersebut.
Pesan atau puisi itu biasa berdasarkan arti kata atau kelompok kata yang dipakai, aspek struktur kata atau klasa, nuansa kata yang dipilih, topik yang disajikan dan ditangkap. Sehingga penikmat biasanya cukup kesulitan untuk mengetahui arti secara referensial tapi mereka hanya mendapat amanat atau pesan yang disampaikan dalam teks tersebut.
Relasi Makna
Dalam studi semantik dan pragmatik, relasi makna tak dapat dilupakan. Namun, dalam buki ini hanya menuraikan dengan relasi makan leksikal dan gramatikal. Karena relasi tersebut terdapat dalam internal bahasa yang juga mengungkapkan makna. Relasi makana itu diantaranya :
1. Kontign (relasi berdekatan). Relasi ini tak jauh berbeda dengan sinonimi hanya tokohnya saja yang coba memperlihatkan perbedaan. Misalnya, kata “bernyanyi”, “ berceloteh”, “bersenandung”. Diantara makana tersebut mengandung hubungan makna tetapi tidak bersinonim. Karena leksem tersebut tidak dapat saling menggantikan. Jadi jika dilihat dari tuturan atau pragmatiknya kalimat “ ahmad bernyanyi” dengan “celoteh burung camar di pantai” tidak dapat saling menggantikan. Karena akan membentuk makna yang berbeda. Tapi didalam kalimat tersebut menerangkan ciri-ciri semantik yang berbeda dan konkrit.
2. Relasi Sinonimi. Relasi ini berkaitan dengan hal yang sepadanan arti. Artinya, relasi antar dua leksem memiliki dua santuan lingual lain yang bersesuaian dalam makna. Jadi, aspek ada aspek kognisi dalam tubuh sinonimi.
Misalnya, dalam kalimat “Amir pintar” dengan “Qomar pandai”. Dua kalimat tersebut bisa saling menggantikan satu sama lain. Karena kata “Pandai’ dan “ Pintar” memiliki sifat sinonim atau sepadan dalam makna. Kreidler juga menyebutkan, bahwa makna sinonimi memiliki fungus nilai benar.
Satu hal yang patut diketahuii, bahwa kebanyakan satuan bahasa yang bersinonim itu adalah leksem. Jadi kata bersinonim dengan leksem. Dari kajian sinonim ini, pembelajar bahasa akan menemukan sinonim berdekatan, sinonim mutlak tai jarang ditemukan. Karena sinonim mutlak memiliki makna yang sama-sama persis.
3. Relasi keberlawanan arti. Relasi ini memiliki maksud bahwa satuan lingual atau lebih yang bersifat berlawanan. Karena sebagai upaya untuk memberikan tentang arti kata.menmurut Hurford, bahwa penyebutan itu terlalu sedehana, kurang sesuai dengan kenyataan bahwa apa yang disebut keberlawanan arti cukup beragam atau cukup kompleks. Misalnya, dalam kalimat “anaknya laki-laki bukan perempuan”.
4. Polisemi. Sebuah leksem yang memiliki beberapa makna tergantung konteks kalimatnya. Namun, masih terdapat dalam satu cakupan arti pokok. Misalnya, dalam kata “mencetak”. Hal ini bisa beragam sesuai dengan struktur kalimatnya. Seperti kalimat “ para peklerja sedang sibuk mencetak ribuan majalah” dengan “universitas sibuk mencetak sarjana yang semakin memperbanyak pengangguran”.n Jelas, dua kalimat diatas, tidak dapat tergantikan. Tetapi kata “mencetak” berubah sekan memiliki banyak makna.
5. Hiponimi. Relasi antar leksem tang bersifat keatas dan kebawah. Misalnya relasi antara ayah, anak, kaka, adik. Bahwa kata tersebut menindikasi adanya pemakahan tentang “aku”. Yaitu saling bersaudaraan.
Kriteria lainnya juga dapat dilihat dari intailmen.yaitu perikutan. Seperti kata “bunga”. Kemudian diikuti dengan nama-nama jenis bunga lainnya “mawar, melati”. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa dalam mengkaji hiponimik, kita juga harus memahami bahwa masing-masing kata bawahan dimungkinkan menjadi penggolong untuk tataran dibawahnya.
Lika-liku metafora
Metafora merupakan dasar keserupaan antara dua entitas atau dua term. Kesamaan itu bisa dilihat dari bentuk atau sifat atau persespsinya. Makanya Ullman (1972 :213) mengatakan, bahwa antara dua hal yang bersifat menyatu atau perbandingan yang bersifat langsung karena kemiripan yang bersifat kongkrit atau bersifat persepsi.
Oleh Leech (1974), metafora justru dipandang sebagai sebuah transfer makna atau perpindahan makna. Artinya, dalam satu kalimat kita bisa mengganti dengan kata lainnya yang serupa.
Metafora juga dapat digolongkan sebagai gaya bahasa pengunkapan. Dalam kaitannya, gaya personifikasi. Dan seperti diketahui pula, metafora juga sering digunakan oleh para kalangan wartawan, seniman, ilmuwan dan telah menjadi bahasa keseharian sebagian masyarakat.
Sebenarnya, metafora berfungsi sebagai kekurangan atau keterbatasan leksikon. Karena tidak ada perbandingan antara batasa ide dan pikiran. Namun, paling penting metafora berfungsi sebagai bentuk ekspresif. Hal ini pula yang sering digunakan sampai saat ini.
Perbandingan studi Semantik dan Pragmatik
Sebelumnya, telah dijelaskan. Bahwa semantik dan pragmatik sama-sama memiliki obyek dan membahas masalah yang sama juga, arti atau makna. Namun, dua kajian tersebut dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Jika semantik menelaah arti bahasa yang bersifat bebas konteks. Sedangkan pragmatik lebih cenderung mengkaji arti tuturan yang terikat konteks. Lebih sederhananya, pragmatik merupakan arti bahasa menurut penutur. Dalam hal lain, semantik terfokus pada arti bahasa yang memiliki dua aspek, bentuk dan makna.
Namun, hal yang paling terpenting dari dua studi diatas. Bahwa semantic tidak akan dapat dilepaskan dari urusan kaidah atau seperangkat kaidah bahasa. Sedangkan pragmatic hanya berkaitan dengan serangkaian prinsip (prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan). Dan dalam linguistic, kaidah dan prinsip itu saling berkaitan dan melengkapi dan tidak boleh bertentangan.
Demikian pula, satu kaidah yang terdapat dalam morfologi tidak boleh saling bertentangan dengan kaidah lainnya seperti sintaksis. Dalam pragmatik, satu prinsip perlu dilanggar memang jika konteksnya perlu untuk “berbohong’ atau melanggar. Sehubungan itu Leech coba menampilkan relasi antara semantik dan pragmatik.
Menurutnya, ada tiga kemungkinan relasi ini terbangun. Pertama, pragmatik termasuk bagian studi semantik. Kedua, semantik termasuk bagian studi pragmatik. Ketiga, semantik berbeda dengan pragmatik tapi saling melengkapi. Dan Leech memilih kemungkinan yang ketiga.
0 comments:
Posting Komentar