Home » , » PAMAN DOBLANG

PAMAN DOBLANG

Written By @Rahmandani86 on Senin, 09 Januari 2012 | 13.02



Seketika pena yang tergeletak diatas meja kerja diambil Paman Doblang. Tanpa kesadaran, ia langsung menandatangani satu berkas proposal yang sebenarnya tidak tahu apa yang ditandatanganinya. Bagi Paman doblang, pekerjaan terpenting adalah saat semuanya berjalan lancar. Apalagi, proposal proyek yang baru saja mendapatkan coretan penanya merupakan salah satu pundi uang besar yang akan masuk ke institusinya.

Setelah penandatanganan itu selesai. Paman Doblang tersenyum kepada salah satu staff yang memberikan berkas proposal tersebut. “Terima kasih.”. Kemudian melihat jam tangan yang dikenakan. Waktu telah menunjukan pukul 16.00 WIB. Ia bergegas meninggalkan ruang kantornya.

Maklum, Paman Doblang merupakan salah satu punggawa disalah satu Perguruan Tinggi Negeri. Maka jangan heran jika tandatangannya menjadi senjata ampuh dari pelbagai proposal proyek yang masuk ke institusinya. Meski hampir semua tahu, bahwa dirinya bukan bagian untuk menjadi pejabat komitmen dalam proyek tersebut. Namun, bagaimana lagi, tat kala sang raja telah menitahkan Paman Doblang untuk terlibat dalam penandatangan proyek. Maka kuasa untuk menolak pun memicutkan keberaniannya.

Terlebih, saat paman doblang mendengar, bahwa salah satu punggawa yang seharusnya menangani proyek ini mulai berkilah. Ya, Paman Doblang hanya menelan liur ludah dan tanpa bertanya kembali.
Begitulah karakter Paman doblang. Seorang punggawa yang sebenarnya terkunci dalam situasi tanggung jawab kerjanya. Apalagi, Paman Doblang bukan seorang yang memiliki otoritas dalam mengambil alih proyek ini. Tapi karena kebodohan, sekaligus manusia yang tak pernah memiliki sikap sebagai pemimpin. Ia pun legowo mendapat tanggung jawab tersebut.

Hobi bicara menjadi khas karakteristik paman Doblang. Dari sana ia cukup bisa lebih bermasyarakat dengan mahasiswa ketimbang tiga punggawa dan sang raja. Mimik wajahnya yang cukup mirip Temon (seorang pelawak) dan berkacamata menyiratkan ia memiliki status yang kurang “bengis”. Sayang, paman Doblang tak banyak memiliki otoritas saat berhadapan dengan tiga punggawa dan sang raja.

Bagi Paman Doblang, situasi tersebut membuat dirinya lebih baik banyak diam dan tak melawan. Tak heran, kesederhanaan menggunakan pakaian setiap hari, ternyata ia coba terapkan dalam prinsip hidupnya di kantor. Yaitu lebih baik menjadi manusia bodoh daripada hidup tapi dikucilkan. Memang cukup aneh dan lucu. Tapi itulah Paman Doblang yang terkunci hatinya.

Padahal hatinya pernah merasa yakin, jika kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Tapi semua keyakinan itu akhirnya pudar dengan sikap bodoh yang diciptakannya sendiri.
Satu tahun berselang. Tiba-tiba surat kabar harian memberikan berita, bahwa Perguruan Tinggi Negeri tempat dimana ia bekerja terjerat kasus besar, korupsi. Jelas, semua warga kampus kaget. Bertanya seakan tak percaya, adapula yang memaki karena merasa dibodohi oleh manajemen keuangan kampus. Tapi tak sedikit yang bereaksi dengan mendemo pihak Rektorat.

Sayang, para demonstran terlihat tak mampu berdalih saat berhadapan dengan sang raja. Jelas, hasilnya mudah ditebak. Para demonstran takluk dengan logika sang raja. Ya, anggapan banyak pihak, mungkin, mereka terlalu reaksioner. Padahal, data kongkrit pun tak mereka miliki.

Meski demikian, sang raja cukup kewalahan menanggapi berita dari kabar harian dan online yang kian merebak. Tak heran, dengan dalih pencitraan. Sang raja mulai menitahkan ke demonstran untuk menjadi penyelenggara acara hari anti korupsi. Mungkin, logika sang raja saat itu, jangan sampai berita buruknya membakar semangat seluruh mahasiswa. Sehingga dirinya dituntut mundur dari jabatan sang raja karena tak mampu menyelesaikan masalah besar disalah satu punggawanya.

Sang raja mulai memainkan manuver. Sang Punggawa yang kebetulan adalah Paman Doblang yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi laboratorium penelitian mencapai Rp 5 miliar dengan keseluruhan dana Rp 17 Miliar. Kini, Paman doblang dititahkan untuk bersembunyi sementara waktu. Tak hanya itu, tiba-tiba sang raja coba menghadirkan juru bicara untuk berhadapan kepada pemburu berita.

Hampir satu bulan setelah ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan korupsi. Paman Doblang menghilang entah kemana, layaknya remaja perempuan yang hilang saat penjajahan Fasisme jepang di Indonesia sekitar tahun 1943-1945.

Konon, Paman Doblang langsung mengganti semua nomor pribadi telepon genggamnya. Adapula yang bilang, jika paman Doblang kehilangan nafsu makannya. Mungkin, ia coba merenung, jika apa yang dilakukannya ternyata memang sebuah kebodohan yang akut. Tapi, kini, ia tak dapat berbuat apa-apa selain menunggu sidang yang akan dilakukan kejaksaan Agung di gedung Bundar.

Meski begitu, sang raja sepertinya tahu siapa yang harus diancam agar tidak memberikan informasi bahwa dirinya lah yang sebenarnya menitahkan penandatangan proposal proyek laboratorium penelitian tersebut. Jelas, paman Doblang. Sedangkan, Paman Doblang sendiri masih sama seperti dulu yaitu manusia penakut, bodoh dan tak memiliki pendirian untuk mengungkap semua perilaku sang raja.

Urat nadi tangan Paman doblang mulai gemetar. Urat saraf kepala juga ikut berdenyut kencang. Hatinya galau tak karuan dengan situasi yang terus menerus menekan dirinya. Karena Paman Doblang tak punya banyak uang untuk menyewa jawara agar bisa melindungi diri dan keluarga dari ancaman fisik. Putus asa yang lahir dari frustasi pun coba dituangkan dalam sikap, yaitu menyerah pada sang raja.

Apalagi, sang raja mulai mendengar isu bayangan, jika dirinya terlibat atas kasus korupsi yang menimpa Paman Doblang. Jadi, ancaman pun yang digencarkan oleh sang raja tak hanya berupa fisik. Tapi juga ancaman pemecatan jabatan sebagai punggawa didalam kerajaan bisnis pendidikannya.

Kerut wajah Paman doblang semakin pupus. Langkahnya muai gontai berjalan kearah ruangan kerjanya. Sesekali, dirinya melihat ada mahasiswa yang datang ke ruangan kerjanya. Maka paman Doblang langsung melompat kebawah meja kerjanya.

Dalam kekalutan hidup, Paman Doblang bagaikan manusia yang dimasukkan sel tanpa lampu dan cahaya sedikit pun. Ada hawa tapi tak ada angkasa. Imajinasinya meluap seakan ratusan nyamuk menjadi teman disekitarnya. Kini, Paman Doblang benar-benar terkucil meski telah lama patuh terhadap sang raja dan tetap bodoh.

Dibawah meja kerjanya, Paman Doblang mulai bersila dalam duduknya dan berkata, “Saya merasa terkurung dalam lingkaran dan para punggawa sekaligus sang raja telah meludah dari kereta kencana. Dan hari ini, saya menjadi sebatang kara sehingga dirinya berhasil dikriminalisasikan, dikutuk dan disalahkan secara moral. Saya percaya, hampir Punggawa dan sang raja juga melakukan kesalahan dalam institusinya seperti saya.”


0 comments:

Posting Komentar

SELAMAT DATANG DI ARENA DIALEKTIKA PENDIDIKAN