Home » , , , , » Analisa Komponen Bentuk Dan Makna

Analisa Komponen Bentuk Dan Makna

Written By @Rahmandani86 on Rabu, 25 Januari 2012 | 02.02

RESENSI BUKU




Judul buku : Semantik Teori Dan Analisis
Karya       : Prof. I Dewa Putu Wijana dan Dr. Muhammad Rohmadi
Tebal        : 106 halaman


Elemen bahasa memang tidak dapat dilepaskan dari dua macam. Yaitu elemen bentuk dan elemen makna. Bentuk merupakan elemen fisik tuturan. Tapi tidak fokus pada tuturan karena itu akan masuk kedalam pragmatik. Namun, bentuk masuk kedalam komponen makna dalam bahasa yang terkait dengan struktur dan sistem bahasa.  Seperti bentuk dari tataran yang paling rendah sampai tertinggi diimplementasikan dalam bentuk bunyi, kata, morfem, suku kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana.

Bentuk kebahasaan yang berwujud bunyi, suku kata, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraph, dan wacana merupakan unsur-unsur kebahasaan yang dapat disegmentasikan. Makanya, disebut dengan unsur segmental. Selain unsure segmental, bentuk-bentuk kebahasan juga diiringin dengan unsure-unsur yang tidak di pisahkan )unsure suprasegmental).

Unsur suprasegmental biasanya terdapat dalam intonasi. Dan biasanya dalam bahasa tulis dibahasakan dengan tanda baca. Seperti koma, tanda Tanya, tanda seru, dll. Atas dasar unsure suprasegmental ini pula tatananan bahasa lisan seakan menjadi sempurna dengan hadirnya unsure ini. Verahar menyebutkan, kenyataan diatas menyatakan keseluruhan variasi-variasi  unsure segmental bahasa lisan. Alasan ini pula yang menyebabkan bahasa tulisan mendapat andil sebagai obyek primer linguistik dari bahasa tulis sebagai bahasa sekundernya.

Bentuk-bentuk yang telah disebutkan diatas juga merupakan bersifat mental dalam pikiran manusia yang disebut makna. Nah, disini pula kehadiran makna mulai masuk kedalam analisa semantik. Maknya jangan heran, jika makna biasa disebut dengan konsep abstrak pengalaman manusia tapi bukan pengalaman orang per orang. Karena setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda.

Dan bunyi menjadi berpotensi untuk menggambarkan makna. Meski kita tahu, jika bunyi tidak memiliki makna. Kedua pembahasan ini pula tidak dapat digabung dalam bentuk pengalaman manusia. Jadi, secara kebahasaan bentuk merupakan wujud fisik tuturan. Sedangkan makna sebuah wujud nonfisik tuturan.

Relasi bentuk dengan makna 

Bapak ilmu bahasa modern, Ferdinad De Saussure mengemukakan, bahwa hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbitrer dan konvensional. Artinya, hubungannya tidak ada mengandung pengertian dari hubungan klausal, logis, alamiah atau historis dengan makna. Namun, sifat konvesnsional sangat menyarankan bahwa hubunan antara bentuk dan ketata bahasaan dan makna terwujud atas dasar konvensi atau kesepakatan bersama.

Menariknya, tanda kebahasaan yang terdiri atas bentuk dan makna juga memiliki perbedaan dengan tanda-tanda yang lain. Seperti ikon, indeks, dan simbol. Makanya, bentuk merupakan sebuah tuturan karena tidak bersifat fisik.

Bentuk kebahasaan juga memiliki hubungan konsep dalam pikiran manusia. Yang disebut makna (sense). Dari relasi kedua itu pula yang nantinya mencuptakan bentk dan makna diluar bahasa (referen). Namun tidak semua kata yang memiliki makna memiliki referen. Pasalnya, makna bersifat umum dan tidak tertentu sedangkan referen bersifat khusus atau tertentu. Misalnya, ada orang ynag mengatakan meja, kursi. Maka yang tercipta bukan mengarah pada meja atau kursi tertentu. Tapi bisa mengarah kedalam bentuk kursi, atau meja yang beragam. Terkecuali jika melihat subyeknya manusia yang mengatakan dan langsung menunjuk ke kursi atau meja tertentu.

Atas dasar itu, makna dan refren sangat berbeda. Terlebih dalam unsure-unsur eksternal bahasa. Meski demikian Ferdinand coba membedakan keduanya tersebut.
1.      Sejumlah kata yang tidak memiliki makna tetapi tidak memiliki referen. Missal, frasa buku atau pensil. Jelas, memiliki perbedaan makna setiap individu. Karena ‘dan’ memiliki makna berbeda dengan “atau”. Nah, ini biasa disebut dengan Nonreferensial.

Kata referen yang lazim memiliki makna mengacu pada referennya justru disebut dengan content world. Sedangkan nonreferensial yang fungsinya hanya sebatas membantu kata-kata jenis lain  menjalankan tugasnya disebut functional world. Sedangkan buku, pensil, pulpen hanya memiliki hubungan diluar bahasa.

2.      Dalam bahasa, terdapar bentuk kebahasaan yang memuiliki makna berbeda tapi referennya sama. Misalnya dalam kalimat “Tan Malaka adalah bapak republic yang terlupakan” dengan Tan Malaka berhasil membangun sekolah rakyat yang berbasis anti kolonial pada tahun 1925” .

Jelas, pada kedua kalimat diatas, memiliki makna yang berbeda tetapi referennya sama yaitu Tan malaka. Karena dalam bahasa terdapat kata-kata yang tidak memiliki makna tapi punya referen.

3.       Sejumlah kata yang memiliki makna tetapi referennya berubah-ubah atau pindah. Ini disebut dengan Dieksis. Seperti kata “saya”, “aku”, “beta”. Hakikatnya, referen seperti ini tergantung pada siapa yang berperan sebagai pembicara dan lawan bicara.

Pada dieksi juga terbagi bermacam-macam. Pertama, dieksis persona, dieksis temporal.sekali lagi, hal ini terjadi karena makna bersifat internal didalam bahasa.

Analisis Komponensial

Setiap kata bisa memiliki makna berbeda dengan kata lain. Dan tidak ada satu kata pun yang memiliki makna sama persis. Untuk itu, hadir pula elemen makna yang menyusun sebuah kata didalam ilmu semantik. Ini disebut pula sebagai komponen makna. Dan usaha  untuk menuraikan komponenmakna yang dimiliki oleh sebuah kata demgan membandingkan dengan kopmponen-komponen yang dimiliki kata lain (analisis komponensial).

Analisis komponensial ini sepertinya mendapat dorongan atas kehadiran analisis cirri pembeda bunyi-bunyi bahasa di fonologi. Misalnya, bunyi “P” dan “B” memiliki cirri hambat dan bilabial. Pembedanya adalah ciri tak bersuara dan bersuara. Sedangkan bunyi “T” dan “D” keduanya memiliki cirri hambat dan apikoalveolar. Yang membedakan keduanya adalah cirri tak bersuara dan bersuara. Bila cirri kualitas yang dimiliki oleh sebuah bunyi dilambangkan dengan positif dan cirri yang tidak bersuara dilambangkan dengan negatif.  Tentu saja negatif bilabial bagi bunyi huruf “T” dan “D” jika menggunakana versi yang sederhana dapat mengakibatkan identitas bunyi-bunyi tersbut tidak spesifik karena negative tidak selalu berarti apiko alveolar.

BUNYI
BILABIAL
APIKOALVEOLAR
BERSUARA
TIDAK BERSUARA
P
+
-
-
+
B
+
-
+
-
T
-
+
-
+
D
-
+
+
-

Bagan diatas dapat disederhanakan menjadi :
BUNYI
BILABIAL
APIKOALVEOLAR
BERSUARA
P
+
-
-
B
+
-
+
T
-
+
-
D
-
+
+

Dalam analisis komponensial, nilai komponen makna yang dimiliki sebuah kata atau leksem dilambangkan dengan positif dan nilai yang tidak dilambangkan negatif.  Ini pula yang sedikit menyulitkan pembelajar bahasa di Indonesia. Karena bahasa Indonesia memiliki sejumlah kata yang memiliki makna generik “memasak”. Seperti “menggoreng”, “menumis”. Kata ini memiliki komponen makna yang berbeda.

Perbedaan makna diatas hanya berkaitan dengan bahan yang digunakan untuk memasak, jumlah bahan, dan cara memasak. Makanya dalam komponensial analisis dapat didefinisikan sebagai makna generic ‘memasak’. Yaitu jika menggoreng relative lebih banyak menggunakan minyak goreng dan menumis adalah kegiatan memasak dengan menggunakan nyala api.

Perubahan Makna

Bahasa menjadi ruang berkembangnya komunikasi manusia. Dalam buku ini, coba dijelaskan bahwa dalam bahasa terdapat elemen yang lebih mudah berubah disbanding dengan elemen yang lain. Elemen yang masuk kedalam struktur seperti fonologis, morfologis dan sintaksis pasti lebih sukar berubah disbanding dengan sistem dalam bahasa. Misalnya, system bunyi dalam bahasa lebih mudah berubah.

Elemen bahasa yang mudah berubah bisa disebut dengan bersifat terbuka.  Sedangkan elemen yang sulit berubah bisa disebut dengan bersifat tertutup. Tak hanya itu, leksem dalam bahasa juga memiliki sifat mudah berubah. Secara sederhana perubahan tersebut berhasil merubah makna.
1.      Perubahan makna meluas. Perluasan makna terjadi karena perkembangan dalam bidang kehidupan manusia. Seperti kata “akar” pada waktu yang lampau bermakna bagian dari tumbuhan bersangkutan. Akan tetapi saat ini, karena perkembangan pengetahuan makna akar berubah menjadi ‘penguraian pangkat’.

Meluasnya komponen makna sebuah klata juga disebabkan karena rendahnya frekuensi penggunaan sebuah kata. Makna kata yang jarang digunakan kemudian dipindahkan kepada bentuk imbangannya yang frekuensi pemakaiannya lebih tinggi.

2.      Perubahan makna menyempit. Beda dengan perluasan makna. Jika penyempitan makna terjadi karena makna dalam bahasa yang menerimanya. Seperti kata “motor” dalam bahasa aslinya memiliki makna ‘semua alat penggerak dari mesin’. Tapi dalam kamus bahasa Indonesia, kata tersebut menyempi sehingga hanya bermakna ‘sepeda motor’.

3.      Perubahan makna membaik. Perubahan ini disebabkan karena sebelumnya satu kata memiliki makna  atau denotasi yang cukup buruk. Maka dalam perkembangan bahasa bisa berubah menjadi makna lebih baik. Fenomena ini pula yang menyebabkan proseas amelioratif.


Seperti kata wanita yang semula dari bahasa sangsekerta yaitu “Vanita” yang maknanya sama dengan ‘perempuan’. Akan tetapi dalam perkembangan bahasa, kata ini mengalami proses perubahan makna yang membaijk. Sedangkan kata perempuan mengalami perubahan makna yang buruk.

4.      Perubahan makna memburuk. Perubahan makna ini berbanding terbalik dengan makna yang membaik. Misalnya kata “perempuan” justru mengalami peyoratif atau memburuk. Karena pada masa lalu, makna perempuan cenderung memiliki nilai rasa netral. Dan sering digunakan untuk menamai gerakan masa. Dan saat ini berubah menjadi wanita. Dengan demikian menurut buku ini tak ada nama organisasi yang menggunakan kata “perempuan.

Padahal, jika dilihat secara konteks, perubahan makna memburuk ini masih belum bisa diterima masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti masih banyak organisasi yang menggunakan kata “perempuan” sebagai nama organisasi atau gerakan. Seperti Komnas Perempuan, dan gerakan perempuan.

Kritik buku

Sekali lagi, bahasa merupakan identitas budaya masyarakat. Sehingga perlu mendapat perhatian khusus dalam pembelajaran bahasa. Masalahya, dalam buku ini bahasa yang diajukan kepada pembelajar sangat terlalu ilmiah. Padahal, diluar negeri pembelajaran bahasa sudah menggunakan logika deskriptif. Hal ini dilakukan agar pembelajar bahasa tidak kesulitan dalam memahami sistem dan struktur bahasa.

Meski demikian, kehadiran buku ini menjadi gejolak perkembangan bahasa yang semakin meningkat. Terbukti dalam buku ini dijelaskan secara sederhana  bagaimana menganalisa dengan komponensial dalam tataran bentuk bunyi yang mempengaruhi perubahan makna.

0 comments:

Posting Komentar

SELAMAT DATANG DI ARENA DIALEKTIKA PENDIDIKAN