Home » , , , » Retorika berbahasa

Retorika berbahasa

Written By @Rahmandani86 on Rabu, 25 Januari 2012 | 02.16

 RESENSI BUKU







Judul : Teori Semantik Edisi Kedua
Karya : J. D. Parera
Tebal : 288 halaman




Empat aras studi semantik tak hanya mengajarkan kita untuk memahami bahasa. Tetapi juga coba untuk me-retorikakan bahasa

Bahasa dalam bentuk struktur sintaksi dan morfologis pada satu sisi dan struktur bunyi pada sisi lain hanyalah sarana untuk menyampaikan segala aspek bentuk dan kemaknaan yang hendak disampaikan oleh penutur.

Sehingga proses berbahasa dalam buku ini digambarkan dengan Tata bahasa : Semantik, sintaksis, fonologi, sintaksis, semantik, baru masuk kearah morfologi. Tak heran jika Parera, coba mengasumsikan ada dua ujung yang sama. Yaitu penutur hendak menyampaikan makna dan peserta tutur menangkap makna pula.

Atas dasar itu, buku ini coba mengupas pada empat tingkatan makna yang harus dilewati agar manusia bisa memahami makna tutur  yang disampai oleh penutur. Ini pula yang dimaksud dalam retorika berbahasa.
1.      Aras makna linguistik. Maksudnya, makna leksikal dan makna structural sebuah bahasa. Pada aras ini para penutur harus menguasai dan membedakan setiap makna kata dan penggunaan makna kata.

Sehingga pada fase ini para pembelajar bahasa sudah terlebih dahulu memahami dan berhasil membedakan fungsi, unsure bahasa yang digunakan. Seperti fungsi subyek, obyek, predikat, dan keterangan.

Tak hanya itu, pembelahjar bahasa juga mesti berhasil  membedakan ciri-ciri kalimat berita, Tanya, dan perintah. Karena bisa menggunakan partikel penghubung atau perangkai dengan tepat sesuai peraturan yang sudah ditetap dalam system atau struktur bahasa.

2.      Aras makna proposisi. Aras kedua ini coba untuk menjelaskan bahwa kalimat atau proposisi ujaran benar atau tidak benar. Biasa disebut dalam fase ini m, pembelajar bahasa menjadi kritikus bahasa. Pasalnya, penyampaian suatu makna belum menjamin bahwa kalimat ujaran itu benar atau salah.

Makanya, aras proposisi ini mencakup kelogisan makna dan keempirisan makna. Lahirlah dalam hubungan ini pemahaman akan keanalitisan makna. Kesintetisan makna, kekontradiksian makna, kekontreran makna. Makanya, aras ini biasa disebut dengan aras makna logika. Ukurannya, kelogisan berbahasa.

3.      Aras makna pragmatik. Aras ini coba menjelaskan bahwa pemahaman akan tujuan dan fungsi sebuah tutur. Karena ujaran yang secara struktur bunyi dan morfologis dan sistaksis sama tidak selalu memiliki tujuan dan fungsi yang sama.

Bagi Joshua Fishman dan Dell Hymes, bahwa pada aras pragmatik ini akan tampak bahwa kategori nosi umum secara linguistic tidak selalu sama dengan kategori makna secara pragmatik. George Yule juga telah coba mengembangkan aras makna ini. Hal ini dilakukan agar kemungkinan pragmatic sesuai dengan fungsi penggunaannya bahasa terus berkembang.

Seperti J.D. Parera (pengarang buku ini) yang telah mempraksiskan dalam bukunya ini, jika ia telah membuat sebuah wacana mudah untuk dipahami oleh pembelajar bahasa. Dengan gaya tulisan yang deskriptif dan mudah dipahami serta enak dibaca. Hal ini ia coba seakan menjadi sebagai penutur dan pembaca sebagai lawan tuturnya.


4.      Aras makna kontekstual. Yang terakhir ini merupakan ujaran yang seuaui dengan konteks situasi dari penutur, jadi, makna ini sepenuhnya bisa dibenarkan. Dan kemungkinan makna ini berubah tidak akan terjadi.

Misalnya kita mendengar ujaran “matikan”, maka akan muncul dalam pikiran “matikan” apa. Karena ujaran tersebut telahlahir berhubungan dengan pengetahuan sebelumnya atau pengetahuan bersama yang telah dimiliki bersama. Dan maknya sudah jelas, baik itu “matikan lampu”, “matikan mesin motor” atau “matikan mesin mobil”.

Alasan aras makna konstektual ini ada karena dalam memahami makna sebuah wacana, kita perlu memahami akan konteks keberlangsungan ujaran-ujaran yang dilakukan oleh penutur.

Klasifikasi aras bahasa

Klasifikasi dilakukan dengan melihat kesamaan ciri yang ada pada setiap bahasa. Bahasa yang mempunyai kesamaan ciri dimasukkan dalam satu kelompok. Menurut Greenberg (1957: 66) suatu klasifikasi yang baik harus memenuhi persyaratan nonarbitrer, ekhaustik, dan unik. Nonarbitrer maksudnya bahwa kriteria klasifikasi hanya harus ada satu kriteria, maka hasilnya akan ekhaustik. Artinya, setelah klasifikasi dilakukan tidak ada lagi sisanya, semua bahasa yang ada dapat masuk ke dalam salah satu kelompok. Hasil klasifikasi juga harus bersifat unik, maksudnya kalau suatu bahasa sudah masuk ke dalam salah satu kelompok, dia tidak bisa masuk lagi dalam kelompok yang lain, kalau masuk ke dalam dua kelompok atau lebih berarti hasil klasifikasi itu tidak unik.

Berikutnya, klasifikasi genetis disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan berdasarkan garis keturunan bahasa- bahasa itu. Artinya, suatu bahasa berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua. Menurut teori klasifikasi genetis ini, suatu bahasa pro ( bahasa tua, bahasa semula) akan pecah dan menurunkan dua bahasa baru atau lebih. Lalu, bahasa pecahan ini akan menurunkan pula bahasa- bahasa lain. Kemudian bahasa- bahasa lain itu akan menurunkan lagi bahasa- bahasa pecahan berikutnya.

Klasifikasi genetis dilakukan berdasarkan kriteria bunyi dan arti yaitu atas kesamaan bentuk (bunyi) dan makna yang dikandungnya. Bahasa- bahasa yang memiliki sejumlah kesamaan seperti itu dianggap berasal dari bahasa asal atau bahasa proto yang sama. Apa yang dilakukan dalam klasifikasi genetis ini sebenarnya sama dengan teknik yang dilakukan dalam linguistik historis komparatif, yaitu adanya korespondensi bentuk (bunyi) dan makna.

Oleh karena itu, klasifikasi genetis bisa dikatakan merupakan hasil pekerjaan linguistik historis komparatif. Klasifikasi genetis juga menunjukkan bahwa perkembangan bahasa- bahasa di dunia ini bersifat divergensif, yakni memecah dan menyebar menjadi banyak, tetapi pada masa mendatang karena situasi politik dan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih, perkembangan yang konvergensif tampaknya akan lebih mungkin dapat terjadi.

Klasifikasi tipologis dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau tipe- tipe yang terdapat pada sejumlah bahasa. Tipe ini merupakan unsur tertentu yang dapat timbul berulang- ulang dalam suatu bahasa. Klasifikasi tipologi ini dapat dilakukan pada semua tataran bahasa. Maka hasil klasifikasinya dapat bermacam- macam, akibatnya menjadi bersifat arbitrer karena tidak terikat oleh tipe tertentu.

Klasifikasi pada tataran morfologi yang telah dilakukan pada abad XIX secara garis besar dapat dibagi tiga kelompok, yaitu:
§  Kelompok pertama adalah yang semata- mata menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar klasifikasi. ( klasifikasi morfologi oleh Fredrich Von Schlegel)
§  Kelompok kedua adalah yang menggunakan akar kata sebagai dasar klasifikasi ( oleh Franz Bopp).
§  Kelompok ketiga adalah yang menggunakan bentuk sintaksis sebagai dasar klasifikasi, pakarnya antara lain H. Steinthal.
Pada abad XX ada juga pakar klasifikasi morfologi dengan prinsip yang berbeda, misalnya yang dibuat Sapir (1921) dan J. Greenberg (1954).

Kemudian, klasifikasi areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu areal atau wilayah, tanpa memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara genetik atau tidak. Klasifikasi ini bersifat arbitrer karena dalam kontak sejarah bahasa- bahasa itu memberikan pengaruh timbal balik dalam hal- hal tertentu yang terbatas. Klasifikasi inipun bersifat non ekhaustik, sebab masih banyak bahasa- bahasa di dunia ini yang masih bersifat tertutup dalam arti belum menerima unsur- unsur luar. Selain itu, klasifikasi inipun bersifat non unik, sebab ada kemungkinan sebuah bahasa dapat masuk dalam kelompok tertentu dan dapat pula masuk ke dalam kelompok lainnya lagi. Usaha klasifikasi ini pernah dilakukan oleh Wilhelm Schmidt (1868- 1954) dalam bukunya Die Sprachfamilien und Sprachenkreise der Ende, yang dilampiri dengan peta.

Atas dasar itu, klasifikasi sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara bahasa dengan faktor- faktor yang berlaku dalam masyarakat, tepatnya berdasarkan status, fungsi, penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu. Klasifikasi sosiolinguistik ini pernah dilakukan oleh William A. Stuart tahun 1962 yang dapat kita baca dalam artikelnya “ An Outline of Linguistic Typology for Describing Multilingualism”. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan empat ciri atau kriteria, yaitu :
  1. historisitas berkenaan dengan sejarah perkembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa itu,
  2. standardisasi berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku atau statusnya dalam pemakaian formal atau tidak formal,
  3. vitalitas berkenaan dengan apakah bahasa itu mempunyai penutur yang menggunakannya dalam kegiatan sehari- hari secara aktif atau tidak,
  4. homogenesitas berkenaan dengan apakah leksikon dan tata bahasa dari bahasa itu diturunkan.
Dengan menggunakan keempat ciri di atas, hasil klasifikasi bisa menjadi ekshaustik sebab semua bahasa yang ada di dunia dapat dimasukkan ke dalam kelompok- kelompok tertentu. Tetapi hasil ini tidak unik sebab sebuah bahasa bisa mempunyai status yang berbeda.


BAHASA TULIS DAN SISTEM AKSARA

Dalam bagian yang terdahulu sudah disebutkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem bunyi. Jadi bahasa itu adalah apa yang dilisankan. Juga sudah disebutkan bahwa linguistik melihat bahasa itu adalah bahasa lisan, bahasa yang diucapkan, bukan yang dituliskan.

Namun linguistik sebenarnya juga tidak menutup diri terhadap bahasa tulis, sebab apapun yang berkenaan dengan bahasa adalah juga menjadi objek linguistik, padahal bahasa tulis dekat sekali hubungannya denganm bahasa. Hanya masalahnya, linguistik juga punya prioritas dalam kajiannya. Begitulah, maka bagi linguistik bahasa lisan adalah primer, sedangkan bahasa tulis adalah sekunder. Bahasa lisan lebih dahulu daripada bahasa tulis. Malah saat ini masih banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi tulis. Artinya, bahasa itu hanya digunakan secara lisan, tetapi tidak secara tulisan. Dalam bahasa itu belum dikenal ragam bahasa tulisan, yang ada hanya ragam bahasa lisan.

Bahasa tulis sebenarnya bisa dianggap sebagai “rekaman” bahasa lisan, sebagai usaha manusia untuk “menyimpan” bahasanya atau untuk bisa disampaikan kepada orang lain yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Namun, ternyata rekaman bahasa tulis sangat tidak sempurna. Banyak unsur bahasa lisan, seperti tekanan, intonasi, dan nada yang tidak dapat direkam secara sempurna dalam bahasa tulis, padahal dalam berbagai bahasa tertentu tiga unsur itu sangat penting.

Apakah bahasa tulis itu sama dengan bahasa lisan, atau bagaimana? Meskipun dari awal sudah disebutkan bahwa bahasa tulis sebenarnya tidak lain daripada rekaman bahasa lisan, tetapi sesungguhnya ada perbedaan besar antara bahasa tulis dengan bahasa lisan. Bahasa tulis bukanlah bahasa lisan yang dituliskan seperti yang terjadi kalau kita merekam bahasa lisan itu ke dalam pita rekaman.

Bahasa tulis sudah dibuat orang dengan pertimbangan dan pemikiran, sebab kalau tidak hati- hati, tanpa pertimbangan dan pemikiran, peluang untuk terjadinya kesalahan dan kesalahpahaman dalam bahasa tulis sangat besar, maka kesalahan itu tidak bisa secara langsung diperbaiki. Berbeda dengan bahasa lisan. Dalam bahasa lisan setiap kesalahan bisqa segera diperbaiki, lagipula bahasa lisan sangat dibantu oleh intonasi, tekanan, mimik, dan gerak- gerik si pembicara.

Berbicara mengenai asal mula tulisan, hingga saat ini belum dapat dipastikan kapan manusia mulai menggunakan tulisan. Ada cerita yang mengatakan bahwa tulisan itu ditemukan oleh Cadmus, seorang pangeran dari Phunisia dan lalu membawanya ke Yunani. Dalam fable Cina dikisahkan bahwa yang menemukan tulisan adalah T’sang Chien Tuhan bermata empat, dan sebagainya. Para ahli dewasa ini memperkirakan tulisan itu berawal dan tumbuh dari gambar- gambar yang terdapat dari gua-gua di Altamira di Spanyol Utara, dan di beberapa tempat lain. Gambar- gambar itu dengan bentuknya yang sederhana secara langsung menyatakan maksud atau konsep yang ingin disampaikan. Gambar- gambar ini disebut pictogram, dan sebagai sistem tulisan disebut piktograf.

Beberapa waktu kemudian gambar- gambar piktogram itu benar- benar menjadi sistem tulisan yang disebut piktograf. Dalam piktograf ini, satu huruf yang berupa satu gambar, melambangkan satu makna atau satu konsep. Piktograf ini selanjutnya tidak lagi menggambarkan benda yang dimaksud, tetapi telah digunakan untuk menggambarkan sifat benda atau konsep yang berhubungan dengan benda itu. Piktograf yang menggambarkan gagasan, ide, atau konsep ini disebut ideograf. Kemudian ideograf berubah menjadi lebih sederhana, sehingga tidak tampak lagi hubungan langsung antara gambar dengan hal yang dimaksud. Sistem demikian, yang menggambarkan suku kata disebut aksara silabis.

Lalu dalam perkembangannya, aksara silabis ini diambil alih oleh orang Yunani yang kemudian mengembangkan tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu dengan menggambarkan setiap konsonan dan vocal dengan satu huruf. Selanjutnya, aksara Yunani ini diambil alih pula oleh orang Romawi. Pada abad-abad pertama Masehi aksara Romawi ini (yang lazim disebut aksara Latin) menyebar ke seluruh dunia. Tiba di Indonesia sekitar abad XVI bersamaan dengan penyebaran agama Kristen oleh orang Eropa.

Jadi, sudah dikemukakan di atas adanya beberapa jenis aksara, yaitu aksara piktografis, aksara ideografis, aksara silabis, dan aksara fonemis. Semua jenis aksara itu tidak ada yang bisa “merekam” bahasa lisan secara sempurna. Banyak unsur bahasa lisan yang tidak dapat digambarkan oleh aksara itu dengan tepat dan akurat. Alat pelengkap aksara yang ada untuk menggambarkan unsur- unsur bahasa lisan hanyalah huruf  besar untuk memulai kalimat, koma untuk menandai jeda, titik untuk menandai akhir kalimat, tanda tanya untuk menyatakan interogasi, tanda seru untuk menyatakan interjeksi, dan tanda hubung untuk menyatakan penggabungan.

Bahasa- bahasa di dunia ini dewasa ini lebih umum menggunakan aksara Latin daripada aksara lain. Aksara Latin adalah aksara yang tidak bersifat silabis. Jadi, setiap silabel akan dinyatakan dengan huruf vokal dan huruf konsonan. Huruf vokal untuk melambangkan fonem vokal dan huruf  konsonan untuk melambangkan fonem konsonan dari bahasa yang bersangkutan. Hubungan antara fonem (yaitu satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna dalam suatu bahasa) dengan huruf atau grafem (yaitu satuan unsur terkecil dalam aksara) ternyata juga bermacam- macam. Tidak sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, karena jumlah fonem yang ada dalam setiap bahasa tidak sama dengan jumlah huruf yang tersedia dalam alphabet Latin itu.

Ada pendapat umum yang mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan yang melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf atau sebaliknya setiap huruf hanya dipakai untuk melambangkan satu fonem. Jika demikian, ternyata ejaan bahasa Indonesia belum seratus persen ideal, sebab masih ada digunakan gabungan huruf untuk melambangkan sebuah fonem. Namun, tampaknya ejaan bahasa Indonesia masih jauh lebih baik daripada ejaan bahasa Inggris.

0 comments:

Posting Komentar

SELAMAT DATANG DI ARENA DIALEKTIKA PENDIDIKAN