Sekolah drakula, negara drakula, yang
merah drakula, yang kuning drakula, yang hijau drakula, lupa pancasila,
oligarki menggila.
Beberapa orang melakukan konfirmasi pertemenan pada akun
facebook, dan twitter saya, cukup gencar. Sehari bisa puluhan orang, Paling
sedikit lima orang. Biasanya berwajahkan wanita cantik atau nama akun yang agak
ke “arab-arab”. Selidik punya selidik ternyata ini akun palsu yang biasa
digunakan untuk kepentingan buzzer meraup uang. Baik untuk berdagang atau untuk
“alat” kosmetik spiritual.
Di zaman orde baru, kosmetik spiritual lebih cenderung
mengedepankan pembangunan-pembangunan rumah ibadah kaum mayoritas. Urusan
jemaah kosong atau sepi bukan menjadi bagian urusan politik Orba. Lain lagi
pada zaman saat ini, kosmetik spiritual justru menjadi senjata andalan
perebutan kekuasaan, oligarki. Sentimen-sentimen golongan dipertunjukan,
superioritas jiwa diunggulkan, dan kedunguan menjadi pembenaran.
“Alat” kosmetik spiritual ini banyak jenisnya. Ada yang
berbentuk bisnis agama seperti seminar-seminar yang menganggap manusia yang
dihadapannya “sakit” jiwa, dan pemateri melakoni sebagai nabi yang membenarkan
sendiri apa yang dikatakannya. Ada juga yang berbentuk aliran seremonial.
Biasanya, aliran seremonial ini sifatnya dadakan, kagetan, emosional, dan cukup
reaktif untuk melakukan pembenaran-pembenaran yang bersifat politik golongan.
Sedihnya lagi, aliran seremonial ini banyak dilakukan oleh
kelompok-kelompok mayoritas dibelahan dunia, termasuk di Indonesia. Negara relijius
ini memang menjadi ladang tersubur untuk melakukan kampanye kosmetik spiritual.
Dalam kacamata bisnis dan penjualan, kaum mayoritas negara ini menjadi target
pasar terbesar untuk bisa terkena virus paling mematikan, superioritas.
Akutnya, jika sudah tertanam dalam pikiran setiap manusia
sebagai makhluk superioritas maka perlahan aliran ini akan merajuk untuk
mementingkan kulit, penampilan, dan mengedepankan hipokritisme, berwajah dua
dan cenderung gila kekuasaan.
Jelas, semestetinya penyakit oligarki di negeri ini bisa menjadi
pelajaran. Tak ada perubahan dalam struktur ekonomi masyarakat, tetap sama. Kemiskinan
meningkat, pendidikan mahal, monopoli ekonomi semakin kuat, lapangan kerja
minim, perampasan hak tanah petani masih terjadi.
Pertanyaannya, akankah ada perubahan pada struktur masyarakat
jika fungsi agama hanya dijadikan aliran seremonial (sempalan) sebagai
kosmetiknya? Jangan aneh, jika negeri yang terkenal relijius ini masih
merangkak mencari jati diri. Pancasila sebagai pedoman masih saja
diperdebatkan. Bayangkan, sila pada pancasila itu ada lima. Tapi masih ada saja
yang terjebak pada perdebatan sila pertama. Capek deh....hehehehe
0 comments:
Posting Komentar