Awalnya, saya tidak tertarik dengan wacana yang yang digaungkan
oleh kementerian pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait Pendidikan
Kewirausahaan di pelbagai Perguruan Tinggi (PT). Persoalannya sederhana,
mungkin, pembuat kebijakan hanya untuk menyokong kebijakan hukumnya,
Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU-PT). Namun belakangan, saya mulai kecantol
dengan apa yang ditulis oleh Haar Tilaar tentang Pendidikan Berbasis Masalah
(PBM). Ya, sebuah kajian yang telah banyak digunakan disetiap negara seperti
Finlandia, Korea Selatan, dan juga Swedia.
Benar, kajian itu yang membuat saya untuk coba menyelami apa
dibalik entrepreneurship dan manusia entrepreneur. Pasalnya, saya cukup heran
juga dengan apa yang dilakukan Kampus eks IKIP (UNJ) yang sekonyong-konyong
memberlakukan euforia “Budaya Kewirausahaan” pada mahasiswanya. Cukup
membingungkan dan menggelitik pikiran.
Globalisasi. Ya, sepertinya wacana entrepreneur ini juga lahir dari
proses bergeraknya politik pasar bebas yang ada. Terbukanya kran
tersebut menyebabkan pelbagai negara berkembang seperti Indonesia gagal
mengeksplorasi Sumber Daya Alam. Sehingga terjebak dalam realitas ekonomi
politik global. Mungkin, ini merupakan capaian terbesar sekaligus mematikan
yang dilakukan oleh Bretton Woods (organisasi politik ekonomi yang melahirkan
IMF dan IBRD) sejak 1960. Tak ayal, globalisasi yang cenderung menggunakan strategi
liberalisme dalam menjalankan aktifitas ekonominya berhasil melabrak masuk
dalam pendidikan setiap negara berkembang, khususnya Indonesia.
Sebenarnya, kompetisi pasar global yang tidak berimbang ini memicu
banyak minat masyarakat “gila” akan wacana entrepreneur. Sebab, kesenjangan
yang terjadi dalam negeri memaksa pola pikir manusia cenderung abstrak atas
keberadaan negara. Sepertinya, ini merupakan tanda kematian dari konsep
Negara-Bangsa yang mencuat pasca Revolusi Industri. Yaitu masyarakat mesti
berpikir kreatif hingga memunculkan inovasi untuk mempertahankan keutuhan
negara.
Wacana entrepreneur ini juga semakin mencuat dalam logika mahasiswa
Indonesia setelah bermunculan pengusaha lama dengan kemapanan bisnis barunya.
Sebut saja Ciputra, Martha Tilaar yang kerap dijadikan dasar berpikir manusia
modern berkompetisi dalam industri pasar bebas. Yaitu manusia bisa pantas
sebagai entrepreneur jika mereka yang telah berhasil memperluas lahan bisnisnya
didalam negeri atau luar negeri dan membuka peluang kerja bagi orang lain. Saya
pikir, ini fenomena sosial ekonomi yang pantas kita permasalahkan. Artinya,
kedudukan sosial manusia hanya dapat diakui manusia lainnya ketika kemapanan
bisnisnya meningkat drastis. Jujur, ini membuat saya tersenyum pucat basi.
Pasalnya, dalam buku “Pengembangan
Kreatifitas dan Entrepreneurship”, Haar Tilaar menjelaskan jika manusia
entrepreneur tak sebatas yang mampu dalam melakukan peningkatan ekonomi dirinya
sendiri. Tapi mental entrepreneur merupakan masalah proses berpikir manusia
dalam melihat situasi politik ekonomi, budaya yang kian terlibat dalam masalah modernitas
kehidupan. Sehingga nalar kritis dan kreatif menjadi jalan keluar untuk
menyelesaikan masalah kehidupan dengan menghasilkan inovasi-inovasi yang kerap
menciptakan kesejahteraan masyarakat bukan kepentingan diri sendiri.
Ya, ide kritis dan kreatif pernah dilakukan salah satu Universitas
Berlin Jerman pada tahun 1808 untuk mengembangkan nalar mahasiswanya. Ketika
itu, Jerman menilai bahwa penguasa pengetahuan adalah Perancis dengan segala
dinamika pemikiran yang berkembang. Terbukti, Perancis telah berhasil melakukan
revolusi sebanyak tiga kali dalam sejarah perkembangan masyarakat. Menariknya,
Universitas Berlin berhasil menarik peluang entrepreneur untuk mengembangkan
nalar masyarakat yang hanya menilai status sosial manusia berdasarkan status
mahasiswanya.
Usut punya usut, Universitas Berlin hanya menekankan pada dua
tujuan dalam sistem pendidikannya. Pertama, mengambil alih kekuasaan atas
pengetahuan yang telah dikuasai Perancis. Kedua, mengambil semangat revolusi
Perancis pada abad itu dengan pedagogik transformatifnya. Tak heran, jika pada
tahun 1870, Amerika mengadopsi sistem pendidikan yang dilakukan oleh
Universitas Berlin. Hasilnya, cukup memuaskan, Amerika berhasil mengklaim
kekuasaan ekonomi politik global atas pengetahuan yang berkembang saat ini.
Sistem pendidikan Nasional gagal lahirkan entrepreneur
Hakikatnya, penerapan yang dilakukan Universitas Berlin diatas
memberikan pelajaran bagi kita untuk melihat seberapa besar tujuan pendidikan
nasional berhasil meciptakan nalar kritis dan kreatif kepada peserta didik.
Artinya, entrepreneur yang diagungkan oleh setiap negera ternyata tak perlu
dijadikan sisi subyektif untuk mengembangkan ekonomi dalam lembaga pendidikan.
Namun, pengembangan pola pikir atau intuisi peserta didik yang perlu diterapkan
dalam sistem pendidikan. Sehingga peserta didik dengan bebas untuk
mengekspresikan Creatif Destruction dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya.
Sayangnya, sistem pendidikan nasional kita justru terbolak-balik
dalam menerapkan konsep entrepreneur pada peserta didik. Buktinya, pola pikir
yang berkembang hanya sebatas membangun industri ekonomi. Satu lagi, rezim
nilai juga masih membayangi dunia pendidikan kita hari ini. Misalnya,
buku yang kita baca hanya menjadi motivasi untuk mendapatkan nilai kuliah atau
Pekerjan Rumah (PR) di sekolah. Sehingga seorang kawan pernah bilang kepada
saya, jika apa yang kita dapatkan dari buku hanya sebagai teks tertulis untuk
mengisi soal Ujian Akhir Semester (UAS) dan Ujian Nasional (UN) bukan menjadi
alat baca untuk menjadi entrepreneur sejati. Miris dan tragis.
0 comments:
Posting Komentar