Home » , » Yuk, berpikir entrepreneur!

Yuk, berpikir entrepreneur!

Written By @Rahmandani86 on Rabu, 21 November 2012 | 10.43




Awalnya, saya tidak tertarik dengan wacana yang yang digaungkan oleh kementerian pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait Pendidikan Kewirausahaan di pelbagai Perguruan Tinggi (PT). Persoalannya sederhana, mungkin, pembuat kebijakan hanya untuk menyokong kebijakan hukumnya, Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU-PT). Namun belakangan, saya mulai kecantol dengan apa yang ditulis oleh Haar Tilaar tentang Pendidikan Berbasis Masalah (PBM). Ya, sebuah kajian yang telah banyak digunakan disetiap negara seperti Finlandia, Korea Selatan, dan juga Swedia.

Benar, kajian itu yang membuat saya untuk coba menyelami apa dibalik entrepreneurship dan manusia entrepreneur. Pasalnya, saya cukup heran juga dengan apa yang dilakukan Kampus eks IKIP (UNJ) yang sekonyong-konyong memberlakukan euforia “Budaya Kewirausahaan” pada mahasiswanya. Cukup membingungkan dan menggelitik pikiran.

Globalisasi. Ya, sepertinya wacana entrepreneur ini juga lahir dari proses bergeraknya politik pasar bebas yang ada. Terbukanya kran tersebut menyebabkan pelbagai negara berkembang seperti Indonesia gagal mengeksplorasi Sumber Daya Alam. Sehingga terjebak dalam realitas ekonomi politik global. Mungkin, ini merupakan capaian terbesar sekaligus mematikan yang dilakukan oleh Bretton Woods (organisasi politik ekonomi yang melahirkan IMF dan IBRD) sejak 1960. Tak ayal, globalisasi yang cenderung menggunakan strategi liberalisme dalam menjalankan aktifitas ekonominya berhasil melabrak masuk dalam pendidikan setiap negara berkembang, khususnya Indonesia.  

Sebenarnya, kompetisi pasar global yang tidak berimbang ini memicu banyak minat masyarakat “gila” akan wacana entrepreneur. Sebab, kesenjangan yang terjadi dalam negeri memaksa pola pikir manusia cenderung abstrak atas keberadaan negara. Sepertinya, ini merupakan tanda kematian dari konsep Negara-Bangsa yang mencuat pasca Revolusi Industri. Yaitu masyarakat mesti berpikir kreatif hingga memunculkan inovasi untuk mempertahankan keutuhan negara.

Wacana entrepreneur ini juga semakin mencuat dalam logika mahasiswa Indonesia setelah bermunculan pengusaha lama dengan kemapanan bisnis barunya. Sebut saja Ciputra, Martha Tilaar yang kerap dijadikan dasar berpikir manusia modern berkompetisi dalam industri pasar bebas. Yaitu manusia bisa pantas sebagai entrepreneur jika mereka yang telah berhasil memperluas lahan bisnisnya didalam negeri atau luar negeri dan membuka peluang kerja bagi orang lain. Saya pikir, ini fenomena sosial ekonomi yang pantas kita permasalahkan. Artinya, kedudukan sosial manusia hanya dapat diakui manusia lainnya ketika kemapanan bisnisnya meningkat drastis. Jujur, ini membuat saya tersenyum pucat basi.

Pasalnya, dalam  buku “Pengembangan Kreatifitas dan Entrepreneurship”, Haar Tilaar menjelaskan jika manusia entrepreneur tak sebatas yang mampu dalam melakukan peningkatan ekonomi dirinya sendiri. Tapi mental entrepreneur merupakan masalah proses berpikir manusia dalam melihat situasi politik ekonomi, budaya yang kian terlibat dalam masalah modernitas kehidupan. Sehingga nalar kritis dan kreatif menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah kehidupan dengan menghasilkan inovasi-inovasi yang kerap menciptakan kesejahteraan masyarakat bukan kepentingan diri sendiri.

Ya, ide kritis dan kreatif pernah dilakukan salah satu Universitas Berlin Jerman pada tahun 1808 untuk mengembangkan nalar mahasiswanya. Ketika itu, Jerman menilai bahwa penguasa pengetahuan adalah Perancis dengan segala dinamika pemikiran yang berkembang. Terbukti, Perancis telah berhasil melakukan revolusi sebanyak tiga kali dalam sejarah perkembangan masyarakat. Menariknya, Universitas Berlin berhasil menarik peluang entrepreneur untuk mengembangkan nalar masyarakat yang hanya menilai status sosial manusia berdasarkan status mahasiswanya.

Usut punya usut, Universitas Berlin hanya menekankan pada dua tujuan dalam sistem pendidikannya. Pertama, mengambil alih kekuasaan atas pengetahuan yang telah dikuasai Perancis. Kedua, mengambil semangat revolusi Perancis pada abad itu dengan pedagogik transformatifnya. Tak heran, jika pada tahun 1870, Amerika mengadopsi sistem pendidikan yang dilakukan oleh Universitas Berlin. Hasilnya, cukup memuaskan, Amerika berhasil mengklaim kekuasaan ekonomi politik global atas pengetahuan yang berkembang saat ini.

Sistem pendidikan Nasional gagal lahirkan entrepreneur

Hakikatnya, penerapan yang dilakukan Universitas Berlin diatas memberikan pelajaran bagi kita untuk melihat seberapa besar tujuan pendidikan nasional berhasil meciptakan nalar kritis dan kreatif kepada peserta didik. Artinya, entrepreneur yang diagungkan oleh setiap negera ternyata tak perlu dijadikan sisi subyektif untuk mengembangkan ekonomi dalam lembaga pendidikan. Namun, pengembangan pola pikir atau intuisi peserta didik yang perlu diterapkan dalam sistem pendidikan. Sehingga peserta didik dengan bebas untuk mengekspresikan Creatif Destruction dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.

Sayangnya, sistem pendidikan nasional kita justru terbolak-balik dalam menerapkan konsep entrepreneur pada peserta didik. Buktinya, pola pikir yang berkembang hanya sebatas membangun industri ekonomi. Satu lagi, rezim nilai juga masih membayangi dunia pendidikan kita hari ini. Misalnya, buku yang kita baca hanya menjadi motivasi untuk mendapatkan nilai kuliah atau Pekerjan Rumah (PR) di sekolah. Sehingga seorang kawan pernah bilang kepada saya, jika apa yang kita dapatkan dari buku hanya sebagai teks tertulis untuk mengisi soal Ujian Akhir Semester (UAS) dan Ujian Nasional (UN) bukan menjadi alat baca untuk menjadi entrepreneur sejati. Miris dan tragis.

0 comments:

Posting Komentar

SELAMAT DATANG DI ARENA DIALEKTIKA PENDIDIKAN