Home » , , » Terima Kasih, Sang Bulan!

Terima Kasih, Sang Bulan!

Written By @Rahmandani86 on Senin, 04 Juni 2012 | 09.59


Surya Kencana namaku. Seorang bocah yang masih berusia sepuluh tahun. Hidungku cukup mancung, dan rambutku ikal. Satu lagi, aku juga memiliki warna kulit seperti sawo matang. Konon, warna ini menyiratkan saru ras yang cukup berhasil menghegemoni masyarakat dunia atas ekonominya, Tionghoa.

Cukup, tak usah aku mempublikasi lebih jauh siapa aku sebenarnya. Karena aku sudah tak ingat sejak kapan aku mulai bimbang tatkala berbicara tentang jati diri. Jelas, ini satu kesalahan besar dalam sejarah hidup manusia. Padahal, hidup itu sarat dengan pilihan. Pengetahuan itu pula yang berhasil merasuki pikiran untuk  melupakan kesunyianku yang hidup di jalanan.

Aku pernah berkata dalam hati, jika kesunyian bukan akhir dari hidup dan kehidupan. Karena nan jauh di mata, aku yakin kebahagiaan masih menunggu diambang pintu takdir. Meski kebahagiaan itu utopis sifatnya.
Terlebih, hampir setengah dari usiaku hanya habis percuma dihantui kebencian terhadap  puluhan orang bertubuh kekar, dan berambut cepak layaknya tentara. Karena mereka telah mengambil ayah dan ibu secara paksa dari rumah. 

Tak ada yang bisa aku lakukan saat mereka mulai meracik ayah dengan pelbagai pukulan dan tendangan. Sedangkan ibu hanya bisa memohon kepada mereka agar membiarkan aku dan Ranu Kumbolo, adikku yang kecil dibiarkan tetap bertahan di rumah dengan nyeri wajah yang begitu ketakutan.

Seketika, Ranu meraung-raung sejadinya ketika meliihat ayah dan ibu mulai diseret keluar rumah, dan langsung dimasukan kedalam mobil kijang berwarna hitam kelam. Sedangkan, aku hanya bisa memeluk Ranu erat sambil duduk berselonjor diatas lantai yang kotor bekas sisa-sisa darah ayahku sambil terus mengurai air mata.

Seketika kijang itu ditelan kegelapan. Beberapa tetangga mulai membanjiri rumahku secepat kilat. Maklum, rumahku memang berada di pedesaan. Tepatnya di daerah Sukolilo, Kabupaten Pati,  Jawa Tengah.  Jadi, mau tak mau sebenarnya mereka mengetahui ketika penculikan kedua orang tuaku terjadi. Mungkin, mereka juga ketakutan saat melihat beberapa penjaga yang berdiri didepan rumahku sambil mengacungkan laras panjang.

Oro-oro Ombo, salah seorang pemuda desaku yang juga hadir di rumah segera memeluk Ranu yang masih diderap ketakutan atas tragedi ini. Tak hanya para pemuda desa yang merasakan keprihatinannya kepadaku. Tapi Mbok Ratmi, salah seorang wanita tua yang berjualan nasi uduk di desa seberang jalan juga terlihat hadir dengan untaian maaf sebesar-besarnya. Pasalnya, ia tak bisa melakukan apa-apa saat mengetahui peristiwa ini berlangsung.

Sementara itu, aku mulai bosan dengan kecengengan ini. Atau, air mata ini memang sudah tak kuat untuk terus mengalir membasahi kedua pipiku yang sering kali dicubit oleh ayah. Entahlah, yang pasti ketakutan telah mencabik-cabik wajah mungilku dan perlahan mulai melangkah kedalam kesunyian.

Ya, sejak malam itu, sepertinya kesengsaraan mulai terbayang dalam pikiranku. Aku berusaha tenang, tapi tak bisa. Kaki kananku terus saja bergoyang, reflek. Aku jadi ingat perkataan ibu, jika kaki kita bergoyang berarti bakalan ada tanggung jawab besar yang akan menghadang. “Tapi jangan pernah takut.”

Kini, aku coba untuk memejamkan kedua kelopak mata sekedar pasrah atas takdir Tuhan. Aku sendiri tak percaya, bocah seusiaku sudah bisa berpikir tentang kehidupan yang penuh riak ditengah lautan.

Tiba-tiba saja, ditengah kelamnya malam. Sekelompok jangkrik masih terus berbisik dengan kemerdekaannya. Sepertinya kawanan jangkrik tak ada rasa ketakutan dalam benaknya karena telah mengganggu manusia yang masih asik dalam kematian sementara. Namun perlahan tapi pasti, aku mulai menemukan dua suara manusia yang masih asik berbincang didepan kamar.

“Siapa malam-malam begini masih berbincang?” kataku dalam hati.

Perlahan, aku mulai coba mengumpulkan keberanian. Kini, kedua kakiku mulai beranjak dari tempat tidur dan mulai berjalan secara bergindik agar pemilik perbincangan tidak mengetahui kehadiranku. Dari lubang kecil yang berada dibalik daun pintu, aku mulai melihat dua wajah yang tak asing lagi, mas Ombo dan mbok Ratmi.

Wajah mereka begitu serius membicarakan peristiwa yang baru saja menimpa kedua orang tuaku. Aku sedikit mendengar apa yang dikatakan oleh mas Ombo, bahwa peristiwa yang menimpa mas Arjuna dan mba Laras Dewi, nama kedua orang tuaku terkait erat dengan rencana pembangunan pabrik Semen yang dilakukan PT. Indo Semen di daerah sukolilo-Pati.

Dari penjelasan Mas Ombo, bahwa kekuasaan tengah berselingkuh antara Pemerintah Daerah dengan pemodal yang disokong oleh Pemerintah Provinsi untuk membangun pabrik semen di tanah ulayat milik masyarakat. Namun, tak disangka-sangka, rencana tersebut justru mendapat penolakan dari masyarakat yang tergabung dalam organisasi Barisan Tani Sukolilo (BTS) secara serempak.

Hmm, sayangnya, aku tak begitu paham apa yang tengah dibicarakan mas Ombo dan mbok Ratmi. Yang pasti, aku mendengar jika ayah merupakan salah satu pemimpin dari BTS. Sedangkan ibu merupakan kordinator dari kaum petani perempuan Sukolilo. Aku terperanjat, dan bulu kuduk mulai terbangun, ketakutan.

Setelah cukup lama aku mengintip dan menguping dibalik daun pintu kamar. Aku mulai coba memberanikan diri untuk membuka pintu kamar. Sontak, mbok Ratmi langsung menghampiriku yang tengah berdiri dan menatap kedua matanya.

“Loh, Surya kok wis bangun? Kan masih malam,” kata mbok Ratmi sambil memeluk aku dan kembali membawa ke tempat tidur.

“Aku ngga bisa tidur lagi mbok.”

“Kenapa toh?”

“Aku kangen sama ayah dan ibu.”

Tiba-tiba, tetes demi tetes gelinangan air mata kembali mengalir dari dua kelopak mata mbok Ratmi. Aku tersentak diam serasa bertahan dari deruan nafas yang kian tersengal. Mataku juga mulai memerah, dadaku terasa panas.

“Tapi aku tak mau menangis.”

Diatas kasur, aku mulai bertanya kepada mbok Ratmi, alasan apa yang menyebabkan puluhan manusia berpenampilan cepak begitu semangat memisahkan keluargaku dengan anak-anaknya. Bukankah ini salah satu bentuk simbol kekejaman?

Mbok Ratmi menatapku dengan tatapan berkaca. Sepertinya, ia coba untuk memberitahu bahwa di tanah ini masih ada kekejian yang membuat air semakin keruh. Ya, apalagi namanya kalau bukan kekejian, tatkala mereka melakukan pemanggilan kepada ayahku tanpa menunjukan surat secara resmi. Ditambah, wujud penganiayaan secara fisik dan psikis juga berjalan secara gamblang.

Pernyataan itu pula yang akhirnya keluar dari mulut mbok Ratmi. Sebusuk-busuk hati orang Barbar yang menelikung ajaran Isa dan menghancurkan Acropolis, mereka tidak merusak sebongkah batu dari teater  di Epidaurus. Seburuk-buruk Nazi, mereka tidak mengusik sebutir pasir pun di Paris. Meski Nazi telah membuat Perancis mencium ujung kakinya.

Namun, lanjut mbok Ratmi, mereka telah merampas semua hak dan harapanku, masyarakat dan generasi selanjutnya. “Mereka keji yang diselimuti kekuasaan.”

Aku hanya bisa terpaku melihat wajah mbok Ratmi yang terus menyimpan dendam terhadap penculik orang tuaku. Begitu beratkah dosa yang dilakukan oleh ayah dan ibuku saat hidup di dunia? Sehingga mereka harus diperlakukan seperti binatang.

Tak terasa, kumandang adzan subuh mulai terdengar. Suara gesekan daun diiringi embun pagi mulai melantunkan irama. Ya, seakan alam coba menyambut mentari dan coba untuk menyembunyikan kepedihanku.

Sepagi itu, kondisi desa Sukolilo tak sebaik mentari pagi yang muncul untuk memberikan harapan atas kehidupan. Karena lima pemuda datang ke rumah dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya menyiratkan kegelisahan dan ketakutan. Mereka membawa kabar, jika puluhan mobil tentara sedang dalam perjalanan menuju desa Sukolilo untuk mengamankan tanah ulayat. Karena hari ini, beberapa pejabat pemerintah akan segera melakukan peletakan batu pertama.

Sekonyong-konyong, mas Ombo panik. Ia segera memberikan instruksi kepada dua pemuda lainnya untuk segera mengumpulkan BTS di rumahku. Lalu, ia coba mendekapku erat, seraya ingin mengatakan, bahwa aku dan Ranu harus segera meninggalkan rumah.

Tak banyak yang bisa aku lakukan ketika mbok Ratmi mulai memasukan beberapa pakaian dan bekal untuk aku dan Ranu. Kini, mas Ombo mulai memegang tangan kananku dan tangan kiri Ranu.
Hiruk pikuk kepanikan kian membahana disetiap sudut rumah warga. Para wanita berlarian mencari anak-anak mereka. Sedangkan para kaum adam berjalan cepat menuju rumahku sambil memakai caping-topi petani- diatas kepalanya.

Sementara itu, aku bersama Ranu dan mas ombo tetap berjalan menuju rumah Kepala Desa. Disana, Pane Sampyang, nama Kepala Desa Sukolilo langsung menyambut kami. Aku melihat mas Ombo bercengkrama serius dengan pak Ranu sambil terus menatapku dengan sinar kepedulian dan kepanikan. Sedangkan pak Pane hanya mengangguk-anggukan kepala. Ya, sepertinya tokoh kepala desa ini sudah paham atas masalah yang menimpa warganya.

Tak lebih dari lima menit, perbincangan mereka berdua berakhir. Dan mas Ombo langsung meninggalkan aku dan Ranu dengan tatapan tanggung jawab yang harus diselesaikan di desa ini.

Ya, itu sepenggal kisah yang tak pernah terungkap atau tercatat sejarah di tanah air ini. itu juga merupakan 
salah satu kenyataan, jikalau ayah dan ibuku dipastikan tidak akan kembali. Entah dibunuh, atau dimasukan penjara seumur hidup tanpa ada proses hukum yang berlaku. Dan kini, aku sadar kalau orang tuaku telah hilang ditelan bumi. Dan, peristiwa ini menjadi awal aku ditetapkan oleh Tuhan sebagai bocah tanpa orang tua, yatim.

Sayangnya, aku tak sanggup menjadi saksi atas peristiwa yang menimpa keluarga dan desaku. Aku seperti menjadi pengecut dari fase sejarah yang pernah aku rasakan. Menutup mata, telinga, dan mulut kepada siapa pun yang menanyakan jati diri menjadi hal yang tak terelakan.

Kini, aku harus bertahan di persimpangan Ibukota yang terkenal hukum rimba. Siapa yang ber-uang, maka dia akan memenangkan kehidupan. Terlihat konyol asumsi ini, tapi ini sebuah kenyataan bagi anak yatim yang hidup tanpa perlindungan ekonomi dan sosial.

Kalaulah kuhitung, kubilang-bilang, tak terkira berapa banyak manusia saban hari mencibirku di perempatan jalan raya, dekat lampu merah Matraman, Jakarta Timur. Mereka bilang kalau aku ini menjadi biang keladi sampah sosial Ibukota. Apalagi para pemilik mobil mewah yang mudah terpengaruh dengan Peraturan Pemerintah DKI Jakarta nomor 8 tahun 2007 tentang ketertiban umum. Sehingga mereka terus mempermasalahkan keberadaan orang-orang sepertiku.

Padahal, kalau aku pikir, kondisi saat ini tak pernah kuinginkan. Ya, andai saja orang tuaku tidak diculik dan dihabisi nyawanya, mungkin kehidupanku lebih baik. Jadi siapa yang harus bertanggung jawab atas hidup dan kehidupanku hari ini?

Jujur, aku tak mau mengatakan jika Negara harus bertanggung jawab penuh atas kehidupanku. Karena aku tahu, nasib orang tuaku tertelan bumi atas penuntutan hak masyarakat tani terhadap Negara. Aku tak mau dianggap orang sebagai ahli makar. Jadi, aku tetap beruntung selama masyarakat Ibukota terus menganggapku sebagai manusia pesakitan sosial.

Dalam lalu lalang masyarakat Ibukota, aku coba tersenyum menghadapi hidup. Panasnya matahari, guyuran air langit dan jeritan penyandang cacat serasa menjadi teman baikku. Aku yakin, kondisi ini bukan jebakan kehidupan yang diberikan Tuhan. Makanya, aku mengambil jalan lain untuk menghidupi Ranu yang sebentar lagi akan masuk Sekolah Dasar. Yaitu menitipkannya di yayasan anak yatim di wilayah Gang Bedeng, Manggarai, Jakarta Selatan.

Alasanku satu-satunya menitipkan Ranu karena aku tak lagi percaya pada jalanan untuk mendidiknya. Biarkan, aku yang merasakan pendidikan di jalanan. Entah, benar atau salah keputusan ini, aku serahkan sepenuhnya kepada nasib yang menggiring Ranu dalam sejarah hidupnya.

Terkadang aku termenung didepan pelataran toko di bilangan Pramuka. Pengalaman hidup yang kurang banyak membuat aku tak paham arti kehidupan. Nasib telah membuangku jauh ke lubang takdir. Kini, aku hanya bisa berharap menemukan super hero untuk menolong kehidupanku.

Ah, rupanya aku masih sangat mesias-isme dalam pikiran. Bukankah aku sudah tahu, kalau untuk menyelamatkan kehidupan tak bisa terus bersandar pada koboi. Karena hanya keyakinan diri yang sebenarnya dapat mengantarkan manusia ke maqom yang lebih tinggi. Ya, bukan kamu, kalian, dan kita tapi aku sendiri yang akan bertarung.

Jakarta memang tak senyaman desaku. Masyarakatnya juga terbilang variatif. Tapi jangan lupa, di kota ini penuh intrik dagelan yang akut. Lihat saja, bagaimana kaum mayoritas terus melakukan ritual agamanya tanpa memikirkan hak kaum minoritas. Uniknya lagi, perilaku warganya juga cukup barbar. Ups maaf, mungkin ini agak subyektif. Namun, ini yang aku rasakan setelah dua tahun bercengkrama dengan Jakarta.
Belum lagi, peng-aku-an masyarakat religi yang mengagungkan nama Tuhan juga tak jeli melihat kenyataan untuk orang-orang sepertiku. Lihat saja, di kota ini justru anak-anak yatim malah dibiarkan menjadi gelandangan. Sepertinya mereka lebih mencintai hartanya dari pada harus memberikan seperempat kekayaannya.

Bukankah mereka sudah mengetahui jika perbuatan kikir merupakan satu perilaku yang tidak dicintai Tuhan? Bukankah Muhammad, seorang utusan Tuhan yang menyebarkan Islam juga telah memerintahkan untuk menyayangi anak-anak yatim dan fakir miskin? Lalu, bagaimana bisa anak yatim sepertiku terus menerus menjadi cibiran masyarakat dan penghardikan bagi orang yang empunya modal?

Karena pernah suatu ketika, ada seorang yang mengetahui jika aku merupakan anak yang tidak memiliki orang tua. Kalian tahu apa yang mereka katakan kepadaku? Mereka justru menganggapku sebagai anak yang lahir diluar nikah. Hebat bukan budaya masyarakat kota ini? Jauh dari ketentraman Kerta Rahardja didesaku.

Jikalau ada masyarakat yang “sok” peduli dengan keberadaan anak-anak yatim. Biasanya, mereka hanya melakukan pendataan yang sifatnya sosial. Toh, ujung-ujungnya hanya meng-eksploitasi kesengsaraan anak-anak yatim melalui proposal kepada Departemen Sosial atau Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) untuk meminta sumbangan. Jujur, aku katakan, bahwa aku pribadi tidak membutuhkan materi tersebut.

“Aku hanya membutuhkan kehidupan seperti manusia biasanya, tanpa harus ada kesenjangan sosial yang akut di kota ini.”

Tak terasa senja mulai memperlihatkan kantuknya. Perlahan, kelam coba menyelimuti langit. Hembusan angin magrib bergema di pinggir daun telinga manusia. Sedangkan sang raja siang tersenyum senang karena tak mendengar ratapan kesunyianku lagi hari ini.

Tapi tiba-tiba, ketika tubuh ini coba untuk bangkit dari singgasana. Puluhan batu kerikil yang telah setia menemaniku malah coba memanggil kembali dengan penuh harapan. Aku tersentak, dan melihat kearahnya.
Wow ternyata, puluhan batu kerikil itu memberiku isyarat agar terus berusaha melihat keatas langit. Betapa terkejutnya, jikalau sang bulan justru tersenyum kepada dan menyapaku dengan lembut. Lalu, bersama pantulan cahaya matahari, sang bulan mulai mempersilahkanku untuk meneruskan ratapan yang sarat dengan kesunyian.

“Terima kasih sang bulan untuk kesetiaanmu pada manusia sepertiku,” ucap Surya Kencana senang dan kembali singgah di pinggir kali Pasar Genjing untuk menikmati malam.


1 comments:

  1. Tulisannya mengingatkan pada MK telaah Sastra waktu di kampus....

    BalasHapus

SELAMAT DATANG DI ARENA DIALEKTIKA PENDIDIKAN